Sabtu, 02 September 2017

Bid’ah Dalam Perspektif Hukum Islam

Bid’ah Dalam Perspektif Hukum Islam



Di jaman sekarang ini, bid’ah menjadi sebuah peristilahan yang digunakan sebagai senjata yang teramat tajam untuk menuduh seseorang atau sekelompok orang berada dalam dlolalah,atau kesesatan yang berujung tuduhannya pada kekufuran(takfiry). Dengan istilah tersebut,harga kekufuran menjadi murah dan dijual dengan bebas.Setiap orang dengan mudah dicap ‘tukang bid’ah” yang sudah pasti sesat. Seolah sudah tidak ada lagi orang-orang yang beriman didunia ini, karena mereka telah dituduh melakukan bid’ah dengan pemaknaan yang sempit. 
Jika kondisi tersebut terus berlangsung, maka surga yang luasnya seluas langit dan bumi,…wa jannatin ‘ardluhassamawati wal alrd (Al Imron 31), tentu akan mengalami kekosongan. Itu pulalah mengapa Nabi Muhammad SAW,melarang umatnya untuk cepat-cepat menuduh orang-orang yang telah beriman dengan kekufuran. Diriwayatkan dari Anas r.a. bahwa nabi Muhammad SAW bersabda :
“Tiga prinsip keimanan : mencegah dari pengkafiran terhadap seseorang yang telah berkata La ilaha ilallah (tiada ilah selain Alloh) hanya karena perbuatan dosanya dan juga kita tidak mengeluarkannya dari Islam hanya karena amal maksiat yang dilakukannya.Dan jihad tetap ada sejak Alloh mengutusku hingga umatku yang terakhir,memerangi Dajjal yang tidak mampu dikalahkan oleh kedzaliman orang yang dzalim atau keadilan orang yang adil (kecuali dengan kekuatan Alloh).Dan iman terhadap takdir (ilmu Alloh SWT) “(HR.Abu Dawan,Muhammad Alawy al Maliki al Hasani,Mafahim Yajibantushohhah,hal 6)
Mudah menuduh kepada orang-orang yang beriman sebagai pelaku bid’ah yang dlolalah tentu tidak sesuai dengan prinsip keimanan yang diajarkan Nabi SAW. Dan sebaliknya,orang-orang yang gemar mengobral tuduhan bid’ah dlolalah kepada sesama orang Islam tanpa memperhatikan argumentasi yang dibangun oleh orang-orang Islam yang tertuduh atas perilakunya, itu adalah kefasikan yang tidak pernah diajarkan Nabi Muhammad saw.
Mafhum bid’ah menurut kelompok Wahhabiyyah yaitu sebuah kelompok yang yang pemikirannya selalu dinisbatkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab,mereka (salah satunya,H Mahrus Ali ) berpendapat bahwa bid’ah adalah : “… segala ajaran yang tidak diajarkan dimasa Nabi SAW dan sahabatnya tidak boleh diajarkan setelahnya…” (Mantan Kiai NU,Menggugat sholawat dan dzikir,syirik,hal 127)
Demikian juga Sholeh al Utsaimin (tokoh Wahhabiyyah juga) memiliki pendapat yang lebih ekstrim tentang bid’ah :
“Ucapan Rasulullah,kullu bid’atin dlolaalah,’semua bid’ah adalah sesat’, adalah bersifat umum, menyeluruh dan dipagari dengan kalimat menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu “kull” (seluruh).Apakah setelah adanya kalimat “menyeluruh”/”kull” ini masih dibenarkan kita membagi bid’ah mejadi 3 atau 5 ?.Selamanya, ini tidak benar” (Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin,al ibda’ fi kamal al syar’i wa khatar al ibtida’,hal 13,ini hasil kajian Tim Bahtsul Masail PC NU Jember dalam buku mereka ‘Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik”.)

Pernyataan Utsaimin diperkuat dengan pernyataan Hammud bin Abdullah al Mathor (juga dari Wahhabiyyah) :”Barangsiapa membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah saiyah (yang buruk) maka dia telah melakukan kekeliruan dan menyalahi sabda Nabi Muhammad SAW tersebut (Hammud bin Abdullah al Mathor,Al bida’ wa al muhdatsatu wa ma la ahslalahu,terj. Ensiklopedia bid’ah,hal 97)
Demikian pemahaman mereka ketika menafsirkan hadis Nabi SAW; “Kullu Bid’atin Dlolalah “,(Setiap hal yang baru adalah sesat).
Namun,memahami hadis tersebut dengan tafsiran bahwa bid’ah tidak bisa dibagi-bagi adalah sebuah pemahaman yang sempit dan tidak berdasarkan pada kajian ilmiah yang rasional. Bahkan mereka yang berpendapat seperti itupun akhirnya melanggar dan tidak konsisten dengan pendapatnya. Hammud bin Abdullah al Mathor misalnya,akhirnya juga telah membagi bid’ah atau ibtida’ (membuat suatu yang baru) menjadi dua. Pertama , Bid’ah dalam urusan dunia dan kedua ,bid’ah dalam urusan agama (ibid,hal 24).
Demikian juga al ‘Utsaimin,tidak konsisten dengan pendapatnya sendiri. Dalam kitabnya yang lain,Syarh al ‘aqidah al wasithiyyah,hal 639-640,menyatakan :
“Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia adalah halal,kecuali ada dalil yang mengharamkannya.Tetapi,hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan agama adalah terlarang lagi bid’ah kecuali ada dalil dari Al Qur’an dan as sunnah yang menunjukkan keberlakuannya”
Lihatlah pada kalimat beliau tersebut,Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan agama adalah terlarang lagi bid’ah kecuali ada dalil dari al quran dan sunnah…,sangat sarat dengan ketidak konsistenan dengan pendapat sebelumnya. Kecuali kalau dia mengenal istilah- yang dipakai Imam As Syafi’i- qaul qodim dan qoul jadid - pernyataan lama dan pernyataan baru.Tapi jika ada qoul jadid, Imam as Syafi’i dengan jujur menganulir qoul qodimnya.
Yang bisa kita simpulkan dari pendapatnya: pertama, bahwa bid’ah itu ada dua macam, bid’ah dalam urusan dunia dan bid’ah dalam urusan-urusan agama.Yang kedua,baik dalam urusan-urusan dunia maupun dalam urusan agama, ada bid’ah yang bisa diterima selama berlandaskan pada dalil-dalil Al Qur’an dan as sunnah.
Tanggapan Ulama’ Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
Mafhum bid’ah dalam pandangan ahlus sunnah wal jama’ah, sangat argumentatif,realistis dan rasional.Oleh karena itu mereka menafsirkan hadis “semua bid’ah itu sesat” adalah kata-kata umum yang harus dibatasi, ‘am makhshush, maksudnya adalah semua bid’ah yang tercela yang sudah pasti bertentangan dengan syari’at, itulah yang sesat (DR. As Sayyid Muhammad, mafahim yajibu antushohhah,hal 33).
Karena memang dalam menafsirkan hadist tersebut tidak hanya melihat dhohir (teksnya) saja,namun seharusnya dikaitkan dengan qorinah-qorinah lain untuk bisa memahami konteks hadis tersebut.Oleh karenanya Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim,jilid 6/154) menafsirkan hadis tersebut sebagai berikut:
 “Sabda Nabi SAW , “Semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi maksudnya. Dan yang dimaksud oleh hadis itu adalah gholibnya atau biasanya/terkadang bid’ah itu adalah sesat”
Hadis tersebut senada dengan hadis ; “Kullu ma’rufin shodaqoh” semua kebaikan adalah shodaqoh (Riwayat dari al Bukhori). Pertanyannya apakah semua kebajikan yang diberikan kepada seseorang bisa dianggap shodaqoh yang berpahala ?. Apakah jika ada manusia yang membantu pembangunan sebuah gereja dianggap shodaqoh?, apakah jika seseorang memberikan seekor ayam untuk sesajen pada pohon bisa disebut shodaqoh yang berpahala?,apakah jika ada beberapa orang yang saling membantu untuk mensukseskan kemaksiatan juga disebut shodaqoh?. Tentu jawabannya, tidak kan? Dan dengan jawaban tersebut berarti telah membatasi hadis “semua kebaikan adalah shodaqoh.Karena tidak semua kalimat “kull” mengharuskan bersifat umum atau menyeluruh.Sebaliknya terkadang bersifat umum yang dibatasi dengan qorinah-qorinah (indikator) dari hadis lainnya.
Demikian juga dengan Firman Alloh swt,surat al Ahqof ayat 25 mengenai angin topan yang menimpa kaum ‘Ad:
“(Angin topan itu) menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya”
Kalimat Alloh swt “Kulla Syain”,atau segala sesuatu itu bersifat umum namun yang dimaksud khusus atau terbatas.Karena angin topan itu tidak menghacurkan semua yang diatas bumi dan planet lainnya.Hanya menghancurkan sebatas kaum ‘Ad saja. Demikian pula dalam Firman Alloh swt,Q S.Ali Imron 159
“Ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu urusan…”
Kalimat “al-amr”,atau suatu urusan adalah tidak bermakna umum pada semua urusan,baik urusan duniawi dan urusan ibadah.Kan tidak mungkin untuk urusan ibadah itu wajib atau tidak atau zinah itu haram atau boleh harus di musyawarahkan terlebih dahulu?.Lucu jadinya,kalau hendak berzinah harus musyawarah tentang keharamannya terlebih dahulu. Demikian juga dengan hadis :
“Barangsiapa membuat hal baru yang tidak ada hubungannya dengan perkara kami,maka itu tertolak” (Muttafaq ‘alaih)
Kalimat ( Ma laisa minhu ), “yang tidak ada hubungannya dengan urusan kami”, menjadi pembatas atas kesesatan hal-hal yang baru. Artinya,jika masih ada hubungan dengan urusan-urusan agama yang sesuai dengannya dan tidak bertentangan dengan syara’, tentu hal-hal yang baru tersebut tidaklah sesat.Karena pada kenyataannya banyak qorinah / indikator yang mendukung penafsiran hadis-hadis diatas,bahwa ada bid’ah yang terpuji, yaitu yang berdasarkan dalil-dalil syariat atau tidak bertentangan dengan syari’at, sekalipun di jaman Nabi SAW tidak pernah dilakukan.

******

 

Setelah kami jelaskan penafsiran hadis-hadis terkait dengan bid'ah, maka berikut ini akan dikaji qorinah/indikator-indikator yang memperkuat penafsiran tersebut.

B. Penghimpunan Al Qur’an dalam Mushaf
Umar r.a. mendatangi Abu Bakar r.a dan berkata: “Wahai kholifah Rasulillah SAW, saya melihat pembunuhan dalam peperangan Yamamah telah mengorbankan para qurro’ (penghafal Al Qur’an), bagaimana kalau engkau menghimpun Al Qur’an dalam satu mushaf?”. Khalifah menjawab,”Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?”, Umar berkata,”Demi Alloh, ini baik!...”.Hadis ini diriwayatkan oleh al Bukhori.
Pernyataan khalifah, bahwa hal ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, menunjukkan bahwa aktifitas tersebut adalah bid’ah dalam urusan agama,karena kalau itu hanya dalam urusan dunia tentu khalifah tidak akan menolak dengan perkataan itu. Dan dalam hadis tersebut, baik Abu Bakar maupun Zaid bin Tsabit akhirnya menerima usul dari Umar, sekalipun itu bid’ah dalam urusan agama.
Dan kalau ada yang berkata bahwa mereka yang melakukan aktifitas tersebut adalah kalangan sahabat, dan apa yang mereka lakukan tidak masuk kategori bid’ah, berdasarkan hadis Nabi SAW. Berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah Al khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk…” HR.Ahmad, Abu Dawud ibn Majah, At Tirmidzi, dan ia mengatakan hasan shohih.
Dalam hadis itu ada perintah dari Nabi SAW untuk mengikuti tuntunan para khalifah yang selalu mendapatkan petunjuk ilahi. Namun yang perlu dikaji dari hadis tersebut adalah sebagai berikut :
1. Para khalifah tersebut adalah tidak terjaga dari kesalahan (tidak ma’shum ).Dan dari aspek itu,tidak berbeda dengan ulama sebagai pewaris para nabi,baik dari generasi tabi’in,tabi’ittabi’n hingga akhir jaman.
2. Adalah hal yang baru (bid’ah) jika membatasi jumlah para khalifah itu hanya pada empat orang sahabat saja. Karena tidak diketemukan dari lisan Nabi SAW tentang batasan tersebut.Bahkan Abdullah Ahmad berkata, telah berkata kepada kami Muhammad bin Abi Bakar al Maqdisi, berkata kepada kami Yazid bin Zurai’, berkata kepada kami Ibnu ‘Aun dari Sya’bi dari Jabir bin Samurah dari Rasulullah dia bersabda,”Perkara ini (agama ini) akan tetap jaya melawan orang yang memusuhinya selama dua belas masa kekhilafahan yang semuanya berasal dari kalangan Quraisy” (HR.Al Bukhari dan Muslim dan yang lainnya). Bahkan ada ulama yang menambahi dengan Umar bin Abdul ‘Aziz (717 – 720 M) pada masa dinasti Mu’awiyyah. Dan tidak menutup kemungkinan penambahan-penambahan lainnya.Lihat Tarikh Khulafa’,karya imam As Suyuthi.
3. Maka bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Al Khulafa’ dalam hadis tersebut adalah umum. Maksudnya siapa saja yang mutamassik (berpegang teguh) dengan Al Qur’an dan as sunnah dapat dikategorikan dengan Al khulafa Ar Rasyidin al Mahdiyyin. Kajian ini berdasarkan hadis Ibnu ‘Asakir dari Al Hasan ibn Ali r.a., dimana Rasulullah SAW pernah bersabda:“Rahmat Alloh atas para khalifahku”, ada yang bertanya : “Siapa para khalifahmu ya Rasulullah?”.Beliau menjawab :”Mereka yang mencintai sunnahku dan mengajar-kannya kepada manusia” (Muhammad Samiri; an Nash, Mafhum bid’ah baina adldliq wa as-sa’ah, hal.19)
Jadi para ulama ahli Al Qur’an dan ahli hadis yang selalu membela keduanya dalam berdakwah adalah para khalifah Nabi SAW juga.
Dan Jika dikatakan bahwa Abu Bakar, Umar dan Zaid bin Tsabit diperkenankan berkreasi dalam urusan agama, sekalipun tidak dilakukan oleh Nabi SAW,karena mereka termasuk Al Khulafau Ar Rasyidah berdasarkan hadis tersebut. Maka berdasarkan hadis yang sama, sah-sah saja para ulama paska sahabat melakukan kreasi (ijtihad) terhadap urusan-urusan agama dengan tetap berpegang teguh pada Al Qur’an dan hadis.

B. Sholat Taraweh pada Masa Umar
Abdurrahman bin Abdul al Qori berkata, ”Saya keluar pada suatu malam bersama Umar bin Al Khattab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang sholat sendirian, ada juga yang menjadi imam sholat dari beberapa orang. Lalu Umar berkata,”Saya berpendapat, seandainya mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam yang lain, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al Khattab, dan mereka melaksanakan sholat bermakmum kepada seorang imam.Menyaksikan hal itu, Umar berkata : ‘Ni’matil bid’ah hadzihi, sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan sholat diakhir malam lebih baik daripada di awal malam ‘. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan taraweh di awal malam “ (HR.Al Bukhori & Al Malik, al Muwaththo’, I/114).
Dari hadis ini bisa disimpulkan dan ditarik pengertiannya, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menganjur-kan sholat taraweh secara bareng-bareng (berjamaah). Beliau hanya melakukan beberapa malam saja dan kemudian meninggalkannya. Itu artinya, Rasulullah tidak melakukan secara rutin tiap malam. Jadi apa yang dilakukan oleh Umar r.a. adalah sesuatu yang tergolong bid’ah dalam urusan agama, namun hasanah (baik ), terpuji. Karena itu beliau berkata : Ni’matul bid’ah hadzihi (Sebaik-baik bid’ah adalah ini).
Ada sekelompok orang yang mengomentari bahwa perkataan Umar “Ni’matul bid’ah hadzihi”, adalah yang dimaksud dengan bid’ah disini adalah bid’ah dalam pengertian bahasa, bukan dalam pengertian agama. Setiap yang mempunyai dasar rujukan (dalil) dalam agama, kemudian hal tersebut diistilahkan sebagai bid’ah, maka yang dimaksud adalah bid’ah menurut pengertian bahasa (Hammud bin Abdullah al Mathor, hal 78). Karena apa yang dilakukan oleh Umar bin al Khattab sudah pernah dilakukan Nabi, sekalipun hanya beberapa malam, Umar hanya menghidupkan kembali. Demikian pula mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf itu, sejak jaman Nabi sudah ada perintah penulisannya. Jadi, yang dilakukan oleh Umar dan Abu Bakar tersebut juga hanya sekedar membangkitkan apa yang sudah ada sebelumnya.
Menanggapi komentar mereka tersebut.Di bawah ini dipaparkan berbagai analisa proporsional sebagai berikut :
1. Justru Hammud berpendapat bahwa segala yang ada dasar rujukan (dalil) dalam agama itu bisa disebut bid’ah, sekalipun dalam pengertian bahasa, sangat bisa diterima dan masuk akal., Karena nantinya konsekuensi logis dari pendapatnya, ia harus menerima kalau tahlilan, dzikir jama’i, do’a jama’i, dzikir bersama setelah sholat fardhu adalah bid’ah lughowiyyah (dalam pengertian bahasa) karena para ulama yang melakukan hal tersebut juga ada dalilnya.
2. Kalau yang dilakukan Umar dalam sholat taraweh, itu sekedar menghidupkan kembali terhadap apa yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW, tentu pendapat ini mengada-ada.
a. Karena yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, tidak dalam konteks penganjuran untuk berjamaah.Sehingga pada waktu itu ada sahabat yang sholat sendiri-sendiri atau berjamaah.Itu artinya,apa yang dilakukan oleh Umar bukanlah menghidupkan kembali apa yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW.Karena beliau memang tidak pernah menganjurkan sholat tersebut dengan berjamaah dan dengan roka’at tertentu.
b. Pada waktu itu Rasulullah tidak merutinkannya tiap malam selama bulan Romadlon. Dan juga tidak menetapkannya.
c. Kalau sholat taraweh berjamaah itu sudah dianjurkan oleh Nabi, kenapa sahabat-sahabatnya tidak segera melakukannya. Bahkan pada masa Abu Bakar juga tidak melakukan anjuran tersebut. Padahal sangat diketahui kepribadian sahabat terhadap hal-hal yang baik dari Rasulullah akan bersegera melaksanakannya.
d. Dan perkataan Umar, “Ini adalah sebaik-baiknya bid’ah’ adalah memiliki makna yang berkebalikan.Artinya, bahwa sebelumnya (terjadinya sholat taraweh secara sendiri-sendiri) adalah bid’ah yang tidak baik (bi’sati bid’ah)
e. Dan yang terakhir, kalimat bid’ah yang diucapkan oleh Umar bin Khottob menunjukkan bahwa sholat berjamaah yang dianjurkan olehnya, memang benar-benar tidak pernah terjadi sebelumnya.Karena bid’ah dalam pengertian bahasa berarti hal-hal baru yang belum pernah ada.
Adapun pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf dianggap sudah ada perintah sebelumnya (berupa perintah penulisan ayat-ayat al Quran), sehingga apa yang diusulkan oleh Umar kepada Abu Bakar r.a. adalah bukan hal yang baru dalam agama. Pendapat ini bertentangan dengan hadis itu sendiri, dimana Abu Bakar menolak usulan Umar dengan perkataan, Kaifa naf’al syai’an lam yaf’al hu Rasulullah SAW?”, bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?. Bagaimana mungkin ada pendapat diatas kalau Abu bakar sendiri menyatakan usulan Umar tersebut dengan kalimat ‘sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi’. Dan kalau memang itu sudah ada perintah dari Nabi SAW, tentu Umar tidak menjawab penolakan Abu Bakar tersebut dengan kalimat Wallahi, hadza khoir, Demi Alloh, ini baik. Seharusnya ia menjawab dengan kalimat, hadza ma amarana Rasulullah SAW, ini adalah sesuatu yang sudah diperintahkan oleh Nabi SAW. Jadi, dari uraian dua kasus yang terjadi pada jaman sahabat ini, maka hadis-hadis tentang bid’ah diatas (kullu bid’atin dlolalah dan ma laisa minhu) tidak boleh dipahami hanya pada teksnya saja. Karena setelah dikontekskan dengan hadis-hadis dalam dua kasus pada jaman sahabat tersebut, bisa dipahami kalau Imam Nawawi mengartikan ‘kullu bid’atin dlolalah’ adalah kalimat umum yang harus dibatasi maknanya. Artinya, yang dimaksud dengan semua bid’ah itu sesat adalah bid’ah yang bertentangan dan tidak berdasar pada hal-hal pokok dalam syari’at Alloh SWT. Dan itulah yang disebut dengan bid’ah sayyi’ah atau madzmummah (tercela). Dan hal-hal yang baru (bid’ah) namun tidak bertentangan dengan syari’at bahkan bersesuaian, karena ada rujukan dalilnya, maka ini bisa dikategorikan sebagai bid’ah yanghasanah (baik). Dibawah ini akan dibahas pendapat sebagian para ulama Ahli Sunnah Wal Jama’ah terkait dengan pembagian bid’ah pada dua hal tersebut .(Dinukil, dari buku, Membongkar kebohongan buku’Mantan Kyai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik’)

Pendapat Beberapa Ulama dalam membagi bid’ah
1.   Imam Nawawi dalam kitabnya Tahdzib al asma’ wa al lughot, jilid 3, hal 22, mengatakan, Bid’ah terbagi menjadi dua hal, yang hasanah (baik) dan yang qobihah (buruk).
2.   Al Hafizh ibn al ‘Arabi al Maliki
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar al ‘Arabi al Maliki, seorang pakar hadis yang bergelar al Hafizh, mufassir dan pakar fiqh dalam madzab Imam al Maliki. Dalam kitabnya ‘Aridhat al Ahwadzi Syarh Jami’ al Tirmidzi jilid 10 halaman 417, mengatakan, Umar berkata, Ini sebaik-baik bid’ah. Bid’ah yang dicela hanyalah semua bid’ah yang bertentangan dengan as sunnah. Dan perkara baru yang dicela adalah yang mengajak kepada kesesatan.
3.   Al Imam Muhammad bin Isma’il al Shon’ani
Dalam kitabnya Subulus Salam, Syarh Bulugh al Maram jilid 2 halaman 48, mengatakan, Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dilakukan tanpa melihat contoh sebelumnya. Dan yang dimaksud dengan bid’ah disini adalah sesuatu yang dilakukan tanpa didahului adanya syara’ dari Al Qur’an dan as sunnah. Dan sungguh ulama telah membagi bid’ah menjadi lima bagian :
1.      Bid’ah wajib, seperti menjaga ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan (tetap) menegakkan dalil-dalil.
2.      Bid’ah mandubah, seperti membangun madrasah
3.      Bid’ah mubahah, seperti bebasnya dalam macam-macam makanan dan kebanggan pada baju yang bagus
4.      Bid’ah yang diharamkan
5.      Bid’ah yang dimakruhkan, dan keduanya sudah cukup jelas contoh-contohnya. Adapun hadis,”Semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata yang bersifat umum dimana pemahamannya dibatasi.”
4. Ibn Hajar al ‘Asqolani
Beliau adalah seorang pakar hadis yang bergelar al Hafizd. Diakui kepakaran hadisnya, baik di Timur maupun Barat. Dalam kitabnya Fath al Bari jilid 4 halaman 253, mengatakan tentang bid’ah sebagai berikut; Dalam konteks bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dilakukan tanpa mengikuti contoh sebelumnya. Dan dalam konteks syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan dari sunnah, sehingga ia menjadi tercela. Hakekatnya, jika bid’ah itu masuk dalam wilayah yang dianggap baik oleh syara’, maka itu bid’ah yang baik. Dan jika bid’ah tersebut masuk dalam wilayah yang dianggap jelek oleh syara’, maka itu bid’ah yang buruk dan kalau tidak masuk pada keduanya, maka itu masuk pada wilayah (bagian) yang mubah (boleh). Dan bid’ ah itu dapat terbagi menjadi lima hukum”.
5. Al Imam al Syaukani
adalah Muhammad bin Ali al Syaukani, ahli hadis dan ilmu fiqh. Beliau juga membagi bid’ah dengan mengutip pernyataan Ibn Hajar dalam kitabnya Nail al Author jilid 3 halaman 25, tanpa memberinya komentar.(Silahkan pembaca meruju’ buku,Membongkar Kebohongan Buku ‘Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik,yang di susun Tim Bahtsul Masail PC NU Jember, untuk mendapatkan kajian tentang pendapat-pendapat ulama yang lebih mendalam)

Pembagian Bid’ah adalah Suatu Keniscayaan
Jika kita melihat kajian para ulama salaf tentang mafhum bid’ah, maka akan sampai pada suatu kesimpulan, bahwa pembagian bid’ah adalah suatu keniscayaan. Karena dengan hati orang-orang yang suci dan logika orang-orang yang berakal akan memberi pemahaman yang komprehensif, mendalam dan argumentatif pada hadis “kullu bid’atin dlolalah”.

A. Bid’ah dalam aspek bahasa
Pada pengertian bahasa, bid’ah adalah suatu hal atau perbuatan yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya. (DR. Ibrahim Anis: Mu’jamaul Wasith, jilid 1, hal.43. Bandingkan dengan Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam: Qowa’id al Ahkam fiy mashalihil anam, jilid 2 halaman 172 dan Imam an Nawawy:Tahdzib al Asma’wa al lughot, jilid 3, hal. 22)
Dalam pengertian bid’ah ini terkadang ada yang hasanah dan ada pula yang bid’ah tercela. Adapun yang dimaksud bid’ahyang hasanah adalah semua hal yang baru yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an, as sunnah dan ijma’. Dan dalam konteks ini tidak perlu dibedakan apakah itu urusan dunia atau agama. Karena pada hakekatnya semua yang terjadi didalam kehidupan dunia sudah pasti terkait dengan syara’ atau agama. Bagaimana kita akan makan, minum atau berpakaian sekalipun itu urusan dunia harus berstandarkan dengan syara’ atau agama.Dan bahasa yang tepat adalah semua hal-hal yang baru, baik itu terkait langsung dengan ibadah ghoiru mahdloh atau tidak langsung, selama berdasarkan Al Qur’an dan as sunnah atau ijma’, maka masuk kategori bid’ah yang hasanah atau tidak tercela (Bandingkan dengan kajian Imam as Syafi’i pada Al Baihaqi. Manaqib al Syafi’i, jilid I, hal. 469)
1. Contoh-contoh bid’ah yang tidak langsung terkait dengan ibadah
a.       Warna pakaian
b.      Bentuk pakaian bagi pria, apakah kemeja atau T-Shirt
c.       Semua hal yang terkait dengan perkembangan tehnologi
d.      Pemeliharaan ilmu dengan pembukuannya
e.       Dan sebagainya
2. Contoh-contoh bid’ah hasanah yang terkait langsung dengan ibadah ghoiru mahdloh
a. Dzikir jahr (mengeraskan dzikir, baik dengan suara atau alat pengeras suara). Ini adalah bid’ah yang berdasarkan as sunnah. Ali r.a. bercerita,”Abu Bakar bila membaca Al Qur’an dengan suara lirih, sedangkan Umar dengan suara yang keras, dan ‘Ammar jika membaca Al Qur’an mencampur surah ini dengan surah yang lainnya. Maka hal tersebut dilaporkan kepada Nabi SAW, maka beliau bertanya kepada Abu Bakar,”Kenapa engkau melirihkannya?”, Abu Bakar menjawab,”Alloh dapat mendengar suaraku walaupun lirih”, dan Nabi bertanya kepada Umar,”Kenapa engkau mengeraskan suaramu?”, Umar berkata,”Aku ingin mengagetkan setan dan mengusir rasa kantuk.”,Nabi bertanya kepada ‘Ammar,”Kenapa engkau mencampur surat ini dan surat itu?”, ‘Ammar menjawab,”Apakah engkau mendengarkan aku mencampur dengan yang bukan al Qur’an ?”, beliau menjawab,”Tidak”, lalu beliau bersabda,”Semuanya baik” (HR. Imam Ahmad)
Hadis ini menunjukkan bolehnya mengeraskan bacaan Al Qur’an atau dzikrulloh dengan niat syi’ar dan memungkinkan orang-orang lain dapat terjaga untuk bersegera melaksanakan ibadah.
b. Dzikir bareng-bareng (jama’i)
Dzikir jama’i memiliki manfaat yang besar bagi pelakunya terutama pada masyarakat yang awam. Bagi mereka dengan bareng-bareng melakukan ibadah dzikir akan mempicu semangatnya dalam berdzikir. Dan dzikir jama’i ini hanya uslub (teknis) saja untuk berdzikir atau mendekatkan diri kepada Alloh SWT. Jika ada seseorang yang tidak berkenan dengan bareng-bareng dalam ibadah-ibadah yang sunnah, tidak mengapa ia melakukannya secara sendirian.
Adapun aktifitas dzikir jama’i termasuk aktifitas bid’ah yang tidak tercela karena masih berlandaskan dengan as sunnah antara lain :
Tidaklah berkumpul suatu kaum disebuah rumah dari rumah-rumah Alloh yang mereka lagi membaca kitab Alloh dan saling mengkajinya diantara mereka kecuali Alloh menurunkan kepada mereka ketenangan dan rahmat, dan malaikat memagarinya serta Alloh menyebut nama-nama mereka dihadapan malaikatNya” (HR. Abu Dawud)
Kalimat “Tidaklah berkumpul suatu kaum” menunjukkan sebagai dalil dibolehkannya dzikir jama’i.Karena penyebutan kata “kaum” dalam hadis tersebut menunjukkan kepada banyaknya orang yang melakukan dzikir.
Demikian juga dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri r.a., dia berkata : Mu’awiyah r.a. melewati suatu halqah di masjid, lalu dia bertanya,”Majelis apa ini? ”Mereka menjawab, ”Kami duduk untuk berzikir kepada Alloh Azza wa Jalla Muawiyah bertanya lagi, ”Demi Alloh, benarkah kalian duduk hanya untuk itu?”Mereka menjawab, ”Demi Alloh, kami duduk hanya untuk itu.”Kata Muawiyah selanjutnya, ”Sungguh, aku tidak menyuruh kalian bersumpah karena mencurigai kalian, karena tidak ada orang yang menerima hadis dari Rasulullah saw.lebih sedikit daripada aku.”Sesungguhnya Rasulullah pernah melewati halqah para sahabatnya lalu Rasulullah saw. Bertanya, ”Majelis apa ini?” Mereka menjawab, ”Kami duduk untuk berzikir kepada Alloh dan memuji-Nya atas hidayah-Nya berupa Islam dan atas anugerah-Nya kepada kami. ”Rasulullah saw. bertanya lagi, ”Apakah Demi Alloh kalian duduk hanya untuk itu?” Mereka menjawab, ”Demi Alloh kami duduk hanya untuk itu.” kata Rasulullah saw. Selanjutnya, ”Sungguh, aku menyuruh kalian bersumpah bukan karena mencurigai kalian tetapi karena aku didatangi oleh Jibril a.s. kemudian dia memberiatahuku bahwa Alloh Azza wa Jalla membanggakan kalian didepan para malaikat.”(diriwayatkan oleh Muslim, hadis no 1889)
Perhatikan kalimat Halqoh dalam hadis tersebut,itu menunjukkan sekumpulan banyak orang.Dan hadis ini juga bisa menjadi dalil bolehnya dzikir jama’i.
c.Mabit di Mina Jadid(Mina baru)
Sekalipun tidak pernah dilakukan oleh Nabi (karena beliau mabit di Mina lama), namun ini menjadi hal yang hasanah. Karena dengan kondisi melimpahnya jutaan jamaah haji, tentu tidak akan menampung jika Mina tidak diperluas. Dan akan mendatangkan madlorot (bahaya) jika mereka dipaksa mabit di Mina lama sebagaimana di jaman Nabi SAW.
d. Do’a dengan menggunakan bahasa ibu
Doa yang menggunakan bahasa Jawa, Indonesia, Cina, Arab dengan berbagai susunan dan gaya bahasanya adalah bid’ah yang dibolehkan bahkan jika itu membuat yang berdoa lebih khusu’,tentu bid’ah hasanah.
Karena dijaman Nabi SAW sendiri ada sahabat yang berdoa dengan menggunakan redaksi yang tidak pernah diajarkan Nabi, namun beliau membolehkannya.
“Anas bin Malik berkata, ”Suatu saat Rasulullah SAW lewat disisi laki-laki A’rabi yang sedang berdoa dalam sholatnya dan ia berdoa,” Ya Tuhan yang semua mata tidak sanggup melihatNya, tidak dipengaruhi oleh keraguan, tidak bisa disifati oleh siapapun, tidak bisa merubahNya waktu yang berjalan, tidak takut oleh malapetaka, Dia, Alloh yang mengetahui timbangan gunung, takaran lautan, jumlah tetesan air hujan, jumlah dedaunan dari pohon-pohonnya, jumlah segala apa yang ada dalam gelapnya malam dan terangnya siang, tidak menghalangiNya dari langit satu ke langit yang lainnnya, bumi satu ke bumi yang lain, dan lautan tidak dapat menyembunyikan dasarnya, gunung tidak dapat menyembunyikan isinya, (Ya Alloh) jadikanlah sebaik-baik umurku pada akhirnya, sebaik-baik aktifitasku pada penghujungnya dan sebaik-baik hariku pada hari aku bertemu denganMu”. Setelah selesai ia berdoa, Nabi SAW memanggilnya dan memberikan padanya emas dan beliau bersabda,”Aku berikan kamu emas, karena bagusnya pujianmu kepada Alloh ‘Azza wa Jalla(HR.Al Thabarani dalam al Mu’jam al Ausath dengan sanad jayyid)
e. Istilah-istilah wajib, mandubah, makruh,mubah atau haram yang di jaman nabi SAW tidak pernah ada.Namun di jaman setelahnya keberadaan istilah-istilah tersebut dalam kajian ushul fiqih dan ilmu fiqh tentu sangat hasanah dan bermanfa’at.
Pada prinsipnya, bid’ah-bid’ah lughowiyyah (bahasa) baik yang terkait tidak langsung atau terkait langsung dengan ibadah ghoiru mahdloh seperti contoh-contoh diatas, kalau memang berdasarkan Al Qur’an dan as sunnah, atau ijma’ dan qiyas,sudah tentu melalui metode ijtihad maka bid’ah lughowiyyah tersebut,akan menjadi bid’ah hasanah (baik).
Hampir semua persoalan yang masuk wilayah ijtihad adalah persoalan-persoalan yang baru dan belum pernah ada di jaman Nabi SAW.Misalnya,tentang darah nifas yang tidak ada nash yang membicarakan hal tersebut.Para ulama berbicara tentang darah nifas dengan diqiyaskan/dianalogikan kepada darah haid.Demikian pula tentang zakat profesi,zakat fithrah dengan uang,jumlah raka’at sholat teraweh (20 raka’at),qunut dalam sholat teraweh ditengah bulan Ramadhan,qunut dalam sholat shubuh,pemberian titik dalam mushhaf al Quran,memperingati hari-hari besar dalam islam,adzan kedua dalam sholat jum’at,miqot makani di Jeddah bagi jama’ah dari Asia,sa’i dilantai kedua dan sebagainya.
Dan karena masuk wilayah ijtihad maka bisa dipastikan akan memunculkan perbedaan dari hasil ijtihad tersebut. Namun perbedaan itu, sah-sah saja dan bisa dimaklumi karena berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW,
“Apabila seorang hakim melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala, Dan apabila ia melakukan ijtihad lalu keliru, maka ia memperoleh satu pahala” (HR. Bukhori)
Jadi,menurut Nabi SAW dalam wilayah ijtihad(selama memenuhi ketentuan dan persyaratan dalam berijtihad) tidak ada yang mengarah kepada kesesatan.Oleh karenanya janganlah menuduh orang lain sesat atau melakukan aktifitas bid’ah dlolalah,yang ujungnya musyrik dan kafir hanya karena perbedaan pendapat dari hasil ijtihadnya.Selama ijtihad tersebut dihasilkan oleh orang-orang yang memenuhi syarat dalam berijtihad,maka hasil ijtihadnya tidak bisa digugurkan oleh ijtihad lainnya.
Adapun bid’ah dalam pengertian bahasa, namun tidak lahir dari proses ijtihad, sehingga bertentangan dengan Al Qur’an dan as sunnah maka bid’ah seperti ini adalah madzmumah (tercela). Seperti model-model pakaian yang memamerkan ketiak dan paha atau aurat-aurat lainnya, yang sekarang lagi digandrungi anak-anak muda. Dan banyak contoh-contoh lainnya.Atau bid’ah dalam urusan ibadah mahdloh(murni),seperti jumlah roka’at dalam sholat wajib,maka melakukan bid’ah tersebut dengan merubah jumlah raka’at tanpa ada ‘udzur syar’i adalah kesesatan.
Ada pertanyaan dari mereka(Wahhabiyyah), “Jika bid’ah dalam hal-hal yang berkaitan dengan ibadah itu hasanah (baik), tentulah generasi-generasi sahabat akan lebih cepat melakukannya.Tapi kenapa sahabat-sahabat tidak juga melakukannya? Apakah generasi khalaf itu lebih baik daripada generasi-generasi sahabat?”.
Tentu pertanyaan tersebut tidak perlu ada. Karena apakah kita berani berkata bahwa Bilal yang telah melakukan ijtihad untuk sholat dua rakaat setelah wudlu dengan waktu yang telah ditentukan, lebih baik daripada Nabi SAW?. Dimana Nabi SAW tidak pernah melakukan sebelumnya. Kalau itu baik kenapa Nabi tidak melakukannya terlebih dahulu ?.
Ada riwayat dari Rifa’ah bin Rafi’ r.a., beliau berkata,”Suatu ketika kami sholat bersama Nabi SAW, ketika beliau bangun dari ruku’nya, beliau berkata,”Sami’allahu liman hamidah”, Seorang sahabat berkata dibelakangnya, “Rabbana walakal hamdu hamdan katsiran thoyyiban mubarakan fih.”.Ketika selesai sholat Nabi SAW bertanya,”Siapa yang berkata tadi?”, sahabat tadi menjawab,”Saya”,beliau bersabda,”Aku telah melihat ada lebih 30 malaikat berebut menulis pahalanya”(HR. Bukhori, An Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad)
Al Hafizh ibn Hajar mengomentari hadis tersebut dalam kitabnya Fath al Bari jilid 2 halaman 267, bahwa hadis itu bisa menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam sholat, apabila tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain.
Apakah kita berani berkata bahwa sahabat tersebut lebih baik dari Rasulullah SAW yang bacaannya dalam I’tidallebih panjang?padahal Rasulullah SAW tidak melakukan sebelumnya.Dan kenapa Rasulullah tidak melakukannya terlebih dahulu, jika itu baik?.
Dan kenapa pula Abu Bakar tidak bersegera membukukan Al Qur’an dalam satu mushaf padahal itu adalah hal yang baik?. Kenapa harus menunggu usulan dari Umar bin Khottob? Apakah Umar bin Khottob lebih baik daripada Abu Bakar?.Tentu tidak !, karena apa yang dilakukan oleh generasi-generasi terbaru (khalaf) terkait yang bid’ahhasanah bukan berarti generasi-generasi sebelumnya (salaf) yang tidak melakukan bid’ah hasanah tersebut karena menganggapnya sebagai suatu kesesatan. Bisa jadi mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada udzur yang terjadi pada saat itu, misalnya banyak peperangan sehingga sangat sibuk untuk itu, atau karena ada amaliah lain yang lebih utama atau barangkali hal itu belum diketahui oleh mereka (lihat perkataan Imam as Syafi’i yang senada dengan itu, yang dinukil oleh Hafizh al Ghimari dalam Itqon as Shun’ah fi Tahqiqi ma’na al bid’ah. Halaman 5).
Dan dalam hal-hal tertentu,terkadang generasi selain sahabat jauh lebih baik dari generasi sahabat.Hal tersebut disebabkan karena perkembangan masalah atau problem kemasyarakatan semakin modern dan kompleks dan membutuhkan penyelesaian melalui kecerdasan ber ijtihad.Lebih-lebih dengan tidak hadirnya Nabi SAW di tengah-tengah mereka (generasi selain sahabat).Sehingga,jika mereka bisa menyelesaikan persoalan-persoalan keimanan atau keagamaan tanpa Nabi SAW ditengah-tengah mereka adalah sebuah hal yang luar biasa dibandingkan dengan sahabat-sahabat Nabi SAW.Coba renungkan hadis dibawah ini;
“Dari ‘Ubaidah bin al Jarrah RA berkata : Ya Rosululloh,adakah seseorang yang lebih baik dari pada kami?, kami berislam dihadapanmu dan berjihad bersama engkau.Rosululloh menjawab : ‘(Ada yaitu) generasi setelah kalian yang beriman kepadaku sekalipun tidak pernah melihatku”.Hadis riwayat dari Ahmad,Thobaroni dan di shahihkan oleh al Hakim.(Lihat,Ahmad Syarifuddin,al Zad al Mustafad,hal 74).

B. Bid’ah dalam Pengertian Syar’i
Bid’ah inilah yang masuk kategori sesat. Karena segala hal yang baru yang tidak berdasarkan kepada syara’, bahkan berlawanan,maka ini termasuk bid’ah dlolalah dan setiap yang bid’ah dlolalah pasti tercela dan tidak perlu dihidup-hidupkannya.
Seperti adanya aliran-aliran sesat sejak jaman awal Islam berkembang seperti, Khawarij,Murji’ah, dan sebagainya. Hingga orang-orang di jaman sekarang dengan kelompoknya mengakui adanya nabi palsu dari mereka sendiri adalah suatu bid’ah syar’iyah yang sesat, dan setiap yang sesat sudah pasti di neraka.

PENUTUP
Demikian, kajian tentang bagaimana kita memahami bid’ah yang benar dan argumentatif serta rasional. Tidak ada maksud apapun dari penulisan ini, kecuali berharap ridlo Alloh SWT dengan membela para ulama yang sholeh, yang telah banyak memberikan kontribusi pemikiran pada umat Islam ini. Membela dari caci maki kelompok-kelompok yang begitu sempit memahami bid’ah dan dengan itu menjadikan senjata untuk mengkufuri para ulama yang ikhlas tersebut.
Sungguh, pena merasa malu untuk menulis caci maki yang mereka keluarkan, dan julukan-julukan jelek yang mereka lontarakan terdengar begitu risih oleh telinga orang yang mendengarkan, demikian tulis murobbi kami, DR. As Sayyid Muhammad Alawy al Maliky al Hasany, dalam kitabnya al Ghuluw.
Disamping mengharap ridloNya, tidak lupa kami juga berterima kasih pada Tim Bahtsul Masail PC NU Jember yang secara tidak langsung telah banyak membantu penulisan ini dengan membuat mudah penulis menukil pendapat para ulama salaf dari buku “Membongkar Kebohongan Buku ‘Mantan Kyai NU menggugat sholawat dan dzikir syirik” yang disusun tim tersebut. Semoga Alloh memberikan pahala yang layak bagi tim tersebut. Jazaakumulloh Ahsanal jaza’. Amin.
Wallohu A’lam. 
Sumber: dar-alkayyis.com