Di jaman sekarang ini, bid’ah menjadi sebuah peristilahan yang
digunakan sebagai senjata yang teramat tajam untuk menuduh seseorang atau
sekelompok orang berada dalam dlolalah,atau kesesatan yang berujung tuduhannya
pada kekufuran(takfiry). Dengan istilah tersebut,harga kekufuran menjadi murah
dan dijual dengan bebas.Setiap orang dengan mudah dicap ‘tukang bid’ah” yang
sudah pasti sesat. Seolah sudah tidak ada lagi orang-orang yang beriman didunia
ini, karena mereka telah dituduh melakukan bid’ah dengan pemaknaan yang sempit.
Jika kondisi tersebut terus berlangsung, maka surga yang luasnya
seluas langit dan bumi,…wa jannatin ‘ardluhassamawati wal alrd (Al Imron 31),
tentu akan mengalami kekosongan. Itu pulalah mengapa Nabi Muhammad SAW,melarang
umatnya untuk cepat-cepat menuduh orang-orang yang telah beriman dengan
kekufuran. Diriwayatkan dari Anas r.a. bahwa nabi Muhammad SAW bersabda :
“Tiga prinsip keimanan : mencegah dari pengkafiran terhadap
seseorang yang telah berkata La ilaha ilallah (tiada ilah selain Alloh) hanya
karena perbuatan dosanya dan juga kita tidak mengeluarkannya dari Islam hanya
karena amal maksiat yang dilakukannya.Dan jihad tetap ada sejak Alloh
mengutusku hingga umatku yang terakhir,memerangi Dajjal yang tidak mampu
dikalahkan oleh kedzaliman orang yang dzalim atau keadilan orang yang adil
(kecuali dengan kekuatan Alloh).Dan iman terhadap takdir (ilmu Alloh SWT)
“(HR.Abu Dawan,Muhammad Alawy al Maliki al Hasani,Mafahim Yajibantushohhah,hal
6)
Mudah menuduh kepada orang-orang yang beriman sebagai pelaku
bid’ah yang dlolalah tentu tidak sesuai dengan prinsip keimanan yang diajarkan
Nabi SAW. Dan sebaliknya,orang-orang yang gemar mengobral tuduhan bid’ah
dlolalah kepada sesama orang Islam tanpa memperhatikan argumentasi yang
dibangun oleh orang-orang Islam yang tertuduh atas perilakunya, itu adalah
kefasikan yang tidak pernah diajarkan Nabi Muhammad saw.
Mafhum bid’ah menurut kelompok Wahhabiyyah yaitu sebuah kelompok
yang yang pemikirannya selalu dinisbatkan kepada Muhammad bin Abdul
Wahhab,mereka (salah satunya,H Mahrus Ali ) berpendapat bahwa bid’ah adalah :
“… segala ajaran yang tidak diajarkan dimasa Nabi SAW dan sahabatnya tidak
boleh diajarkan setelahnya…” (Mantan Kiai NU,Menggugat sholawat dan
dzikir,syirik,hal 127)
Demikian juga Sholeh al Utsaimin (tokoh Wahhabiyyah juga)
memiliki pendapat yang lebih ekstrim tentang bid’ah :
“Ucapan Rasulullah,kullu bid’atin dlolaalah,’semua bid’ah adalah
sesat’, adalah bersifat umum, menyeluruh dan dipagari dengan kalimat menyeluruh
dan umum yang paling kuat yaitu “kull” (seluruh).Apakah setelah adanya kalimat
“menyeluruh”/”kull” ini masih dibenarkan kita membagi bid’ah mejadi 3 atau 5
?.Selamanya, ini tidak benar” (Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin,al ibda’ fi
kamal al syar’i wa khatar al ibtida’,hal 13,ini hasil kajian Tim Bahtsul Masail
PC NU Jember dalam buku mereka ‘Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU
Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik”.)
Pernyataan Utsaimin diperkuat dengan pernyataan Hammud bin
Abdullah al Mathor (juga dari Wahhabiyyah) :”Barangsiapa membagi bid’ah menjadi
bid’ah hasanah dan bid’ah saiyah (yang buruk) maka dia telah melakukan
kekeliruan dan menyalahi sabda Nabi Muhammad SAW tersebut (Hammud bin Abdullah
al Mathor,Al bida’ wa al muhdatsatu wa ma la ahslalahu,terj. Ensiklopedia
bid’ah,hal 97)
Demikian pemahaman mereka ketika menafsirkan hadis Nabi SAW;
“Kullu Bid’atin Dlolalah “,(Setiap hal yang baru adalah sesat).
Namun,memahami hadis tersebut dengan tafsiran bahwa bid’ah tidak
bisa dibagi-bagi adalah sebuah pemahaman yang sempit dan tidak berdasarkan pada
kajian ilmiah yang rasional. Bahkan mereka yang berpendapat seperti itupun
akhirnya melanggar dan tidak konsisten dengan pendapatnya. Hammud bin Abdullah
al Mathor misalnya,akhirnya juga telah membagi bid’ah atau ibtida’ (membuat
suatu yang baru) menjadi dua. Pertama , Bid’ah dalam urusan dunia dan kedua
,bid’ah dalam urusan agama (ibid,hal 24).
Demikian juga al ‘Utsaimin,tidak konsisten dengan pendapatnya
sendiri. Dalam kitabnya yang lain,Syarh al ‘aqidah al wasithiyyah,hal
639-640,menyatakan :
“Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia adalah
halal,kecuali ada dalil yang mengharamkannya.Tetapi,hukum asal perbuatan baru
dalam urusan-urusan agama adalah terlarang lagi bid’ah kecuali ada dalil dari
Al Qur’an dan as sunnah yang menunjukkan keberlakuannya”
Lihatlah pada kalimat beliau tersebut,Hukum asal perbuatan baru
dalam urusan-urusan agama adalah terlarang lagi bid’ah kecuali ada dalil dari
al quran dan sunnah…,sangat sarat dengan ketidak konsistenan dengan pendapat
sebelumnya. Kecuali kalau dia mengenal istilah- yang dipakai Imam As Syafi’i-
qaul qodim dan qoul jadid - pernyataan lama dan pernyataan baru.Tapi jika ada
qoul jadid, Imam as Syafi’i dengan jujur menganulir qoul qodimnya.
Yang bisa kita simpulkan dari pendapatnya: pertama, bahwa bid’ah
itu ada dua macam, bid’ah dalam urusan dunia dan bid’ah dalam urusan-urusan
agama.Yang kedua,baik dalam urusan-urusan dunia maupun dalam urusan agama, ada
bid’ah yang bisa diterima selama berlandaskan pada dalil-dalil Al Qur’an dan as
sunnah.
Tanggapan Ulama’ Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
Mafhum bid’ah dalam pandangan ahlus sunnah wal jama’ah, sangat
argumentatif,realistis dan rasional.Oleh karena itu mereka menafsirkan hadis
“semua bid’ah itu sesat” adalah kata-kata umum yang harus dibatasi, ‘am makhshush,
maksudnya adalah semua bid’ah yang tercela yang sudah pasti bertentangan dengan
syari’at, itulah yang sesat (DR. As Sayyid Muhammad, mafahim yajibu
antushohhah,hal 33).
Karena memang dalam menafsirkan hadist tersebut tidak hanya
melihat dhohir (teksnya) saja,namun seharusnya dikaitkan dengan qorinah-qorinah
lain untuk bisa memahami konteks hadis tersebut.Oleh karenanya Imam Nawawi
dalam syarah Shahih Muslim,jilid 6/154) menafsirkan hadis tersebut sebagai
berikut:
“Sabda Nabi SAW , “Semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah
kata-kata umum yang dibatasi maksudnya. Dan yang dimaksud oleh hadis itu adalah
gholibnya atau biasanya/terkadang bid’ah itu adalah sesat”
Hadis tersebut senada dengan hadis ; “Kullu ma’rufin shodaqoh”
semua kebaikan adalah shodaqoh (Riwayat dari al Bukhori). Pertanyannya apakah
semua kebajikan yang diberikan kepada seseorang bisa dianggap shodaqoh yang
berpahala ?. Apakah jika ada manusia yang membantu pembangunan sebuah gereja
dianggap shodaqoh?, apakah jika seseorang memberikan seekor ayam untuk sesajen
pada pohon bisa disebut shodaqoh yang berpahala?,apakah jika ada beberapa orang
yang saling membantu untuk mensukseskan kemaksiatan juga disebut shodaqoh?.
Tentu jawabannya, tidak kan? Dan dengan jawaban tersebut berarti telah
membatasi hadis “semua kebaikan adalah shodaqoh.Karena tidak semua kalimat
“kull” mengharuskan bersifat umum atau menyeluruh.Sebaliknya terkadang bersifat
umum yang dibatasi dengan qorinah-qorinah (indikator) dari hadis lainnya.
Demikian juga dengan Firman Alloh swt,surat al Ahqof ayat 25
mengenai angin topan yang menimpa kaum ‘Ad:
“(Angin topan itu) menghancurkan segala sesuatu atas perintah
Tuhannya”
Kalimat Alloh swt “Kulla Syain”,atau segala sesuatu itu bersifat
umum namun yang dimaksud khusus atau terbatas.Karena angin topan itu tidak
menghacurkan semua yang diatas bumi dan planet lainnya.Hanya menghancurkan
sebatas kaum ‘Ad saja. Demikian pula dalam Firman Alloh swt,Q S.Ali Imron 159
“Ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu urusan…”
Kalimat “al-amr”,atau suatu urusan adalah tidak bermakna umum
pada semua urusan,baik urusan duniawi dan urusan ibadah.Kan tidak mungkin untuk
urusan ibadah itu wajib atau tidak atau zinah itu haram atau boleh harus di
musyawarahkan terlebih dahulu?.Lucu jadinya,kalau hendak berzinah harus
musyawarah tentang keharamannya terlebih dahulu. Demikian juga dengan hadis :
“Barangsiapa membuat hal baru yang tidak ada hubungannya dengan
perkara kami,maka itu tertolak” (Muttafaq ‘alaih)
Kalimat ( Ma laisa minhu ), “yang tidak ada hubungannya dengan
urusan kami”, menjadi pembatas atas kesesatan hal-hal yang baru. Artinya,jika
masih ada hubungan dengan urusan-urusan agama yang sesuai dengannya dan tidak
bertentangan dengan syara’, tentu hal-hal yang baru tersebut tidaklah
sesat.Karena pada kenyataannya banyak qorinah / indikator yang mendukung
penafsiran hadis-hadis diatas,bahwa ada bid’ah yang terpuji, yaitu yang
berdasarkan dalil-dalil syariat atau tidak bertentangan dengan syari’at,
sekalipun di jaman Nabi SAW tidak pernah dilakukan.
******
Setelah
kami jelaskan penafsiran hadis-hadis terkait dengan bid'ah, maka berikut ini
akan dikaji qorinah/indikator-indikator
yang memperkuat penafsiran tersebut.
B. Penghimpunan Al Qur’an dalam Mushaf
Umar r.a. mendatangi Abu Bakar r.a dan berkata: “Wahai
kholifah Rasulillah SAW, saya melihat pembunuhan dalam peperangan Yamamah telah
mengorbankan para qurro’ (penghafal Al Qur’an), bagaimana kalau engkau
menghimpun Al Qur’an dalam satu mushaf?”. Khalifah menjawab,”Bagaimana kita
akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?”, Umar
berkata,”Demi Alloh, ini baik!...”.Hadis ini diriwayatkan oleh al Bukhori.
Pernyataan khalifah, bahwa hal ini tidak pernah
dilakukan oleh Rasulullah, menunjukkan bahwa aktifitas tersebut adalah bid’ah
dalam urusan agama,karena kalau itu hanya dalam urusan dunia tentu khalifah
tidak akan menolak dengan perkataan itu. Dan
dalam hadis tersebut, baik Abu Bakar maupun Zaid bin Tsabit akhirnya menerima
usul dari Umar, sekalipun itu bid’ah dalam urusan agama.
Dan kalau ada yang berkata bahwa mereka yang
melakukan aktifitas tersebut adalah kalangan sahabat, dan apa yang mereka
lakukan tidak masuk kategori bid’ah, berdasarkan hadis Nabi SAW. “Berpegang teguhlah kalian dengan
sunnahku dan sunnah Al khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk…” HR.Ahmad, Abu Dawud ibn Majah, At
Tirmidzi, dan ia mengatakan hasan shohih.
Dalam hadis itu ada perintah dari Nabi SAW untuk
mengikuti tuntunan para khalifah yang selalu mendapatkan petunjuk ilahi. Namun
yang perlu dikaji dari hadis tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Para khalifah tersebut adalah tidak terjaga dari kesalahan (tidak ma’shum ).Dan dari aspek itu,tidak berbeda
dengan ulama sebagai pewaris para nabi,baik dari generasi tabi’in,tabi’ittabi’n
hingga akhir jaman.
2.
Adalah hal yang baru (bid’ah) jika membatasi jumlah para khalifah itu
hanya pada empat orang sahabat saja. Karena tidak diketemukan dari lisan Nabi
SAW tentang batasan tersebut.Bahkan Abdullah Ahmad berkata, telah berkata kepada kami Muhammad bin
Abi Bakar al Maqdisi, berkata
kepada kami Yazid bin Zurai’, berkata
kepada kami Ibnu ‘Aun dari Sya’bi dari Jabir bin Samurah dari Rasulullah dia
bersabda,”Perkara ini (agama ini) akan tetap jaya melawan orang yang
memusuhinya selama dua belas masa kekhilafahan yang semuanya berasal dari
kalangan Quraisy” (HR.Al
Bukhari dan Muslim dan yang lainnya). Bahkan
ada ulama yang menambahi dengan Umar bin Abdul ‘Aziz (717 – 720 M) pada masa
dinasti Mu’awiyyah. Dan tidak menutup kemungkinan penambahan-penambahan
lainnya.Lihat Tarikh Khulafa’,karya imam As Suyuthi.
3.
Maka bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Al Khulafa’ dalam hadis tersebut adalah umum.
Maksudnya siapa saja yang mutamassik (berpegang teguh) dengan Al Qur’an dan
as sunnah dapat dikategorikan dengan Al khulafa Ar Rasyidin al Mahdiyyin.
Kajian ini berdasarkan hadis Ibnu ‘Asakir dari Al Hasan ibn Ali r.a., dimana
Rasulullah SAW pernah bersabda:“Rahmat Alloh atas para
khalifahku”, ada yang bertanya : “Siapa para khalifahmu ya Rasulullah?”.Beliau
menjawab :”Mereka yang mencintai sunnahku dan mengajar-kannya kepada manusia” (Muhammad
Samiri; an Nash, Mafhum
bid’ah baina adldliq wa as-sa’ah, hal.19)
Jadi para ulama ahli Al Qur’an dan ahli hadis yang
selalu membela keduanya dalam berdakwah adalah para khalifah Nabi SAW juga.
Dan Jika dikatakan bahwa Abu Bakar, Umar dan Zaid
bin Tsabit diperkenankan berkreasi dalam urusan agama, sekalipun tidak dilakukan
oleh Nabi SAW,karena mereka termasuk Al Khulafau Ar Rasyidah berdasarkan hadis
tersebut. Maka berdasarkan hadis yang sama, sah-sah saja para ulama paska
sahabat melakukan kreasi (ijtihad) terhadap urusan-urusan agama dengan tetap
berpegang teguh pada Al Qur’an dan hadis.
B. Sholat Taraweh pada Masa Umar
Abdurrahman bin Abdul al Qori berkata, ”Saya keluar pada suatu malam
bersama Umar bin Al Khattab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar
dalam sekian kelompok. Ada yang sholat sendirian, ada juga yang menjadi imam
sholat dari beberapa orang. Lalu Umar berkata,”Saya berpendapat, seandainya
mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau
mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam yang lain, aku ke masjid lagi
bersama Umar bin al Khattab, dan mereka melaksanakan sholat bermakmum kepada
seorang imam.Menyaksikan hal itu, Umar berkata : ‘Ni’matil bid’ah hadzihi,
sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan sholat diakhir malam lebih
baik daripada di awal malam ‘. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan taraweh
di awal malam “ (HR.Al
Bukhori & Al Malik, al Muwaththo’, I/114).
Dari hadis ini bisa disimpulkan dan ditarik
pengertiannya, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menganjur-kan sholat taraweh
secara bareng-bareng (berjamaah). Beliau hanya melakukan beberapa malam saja
dan kemudian meninggalkannya. Itu artinya, Rasulullah tidak melakukan secara
rutin tiap malam. Jadi apa yang dilakukan oleh Umar r.a. adalah sesuatu yang
tergolong bid’ah dalam urusan agama, namun hasanah (baik ), terpuji. Karena itu beliau
berkata : Ni’matul
bid’ah hadzihi (Sebaik-baik
bid’ah adalah ini).
Ada sekelompok orang yang mengomentari bahwa
perkataan Umar “Ni’matul bid’ah hadzihi”, adalah yang dimaksud dengan
bid’ah disini adalah bid’ah dalam pengertian bahasa, bukan dalam pengertian
agama. Setiap yang mempunyai dasar rujukan (dalil) dalam agama, kemudian hal
tersebut diistilahkan sebagai bid’ah, maka yang dimaksud adalah bid’ah menurut
pengertian bahasa (Hammud bin Abdullah al Mathor, hal 78). Karena apa yang
dilakukan oleh Umar bin al Khattab sudah pernah dilakukan Nabi, sekalipun hanya
beberapa malam, Umar hanya menghidupkan kembali. Demikian pula mengumpulkan Al
Qur’an dalam satu mushaf itu, sejak jaman Nabi sudah ada perintah penulisannya.
Jadi, yang dilakukan oleh Umar dan Abu Bakar tersebut juga hanya sekedar membangkitkan
apa yang sudah ada sebelumnya.
Menanggapi
komentar mereka tersebut.Di bawah ini dipaparkan berbagai analisa proporsional
sebagai berikut :
1. Justru Hammud berpendapat bahwa segala yang ada dasar rujukan
(dalil) dalam agama itu bisa disebut bid’ah, sekalipun dalam pengertian bahasa,
sangat bisa diterima dan masuk akal., Karena nantinya konsekuensi logis dari
pendapatnya, ia harus menerima kalau tahlilan, dzikir jama’i, do’a jama’i,
dzikir bersama setelah sholat fardhu adalah bid’ah
lughowiyyah (dalam pengertian
bahasa) karena para ulama yang melakukan hal tersebut juga ada dalilnya.
2. Kalau yang dilakukan Umar dalam sholat taraweh, itu sekedar
menghidupkan kembali terhadap apa yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW, tentu
pendapat ini mengada-ada.
a. Karena yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, tidak dalam
konteks penganjuran untuk berjamaah.Sehingga pada waktu itu ada sahabat yang
sholat sendiri-sendiri atau berjamaah.Itu artinya,apa yang dilakukan oleh Umar
bukanlah menghidupkan kembali apa yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW.Karena
beliau memang tidak pernah menganjurkan sholat tersebut dengan berjamaah dan
dengan roka’at tertentu.
b. Pada waktu itu Rasulullah tidak merutinkannya tiap malam
selama bulan Romadlon. Dan juga
tidak menetapkannya.
c. Kalau sholat taraweh berjamaah itu sudah dianjurkan oleh
Nabi, kenapa sahabat-sahabatnya tidak segera melakukannya. Bahkan pada masa Abu
Bakar juga tidak melakukan anjuran tersebut. Padahal sangat diketahui
kepribadian sahabat terhadap hal-hal yang baik dari Rasulullah akan bersegera
melaksanakannya.
d. Dan perkataan Umar, “Ini adalah sebaik-baiknya bid’ah’ adalah
memiliki makna yang berkebalikan.Artinya, bahwa sebelumnya (terjadinya sholat
taraweh secara sendiri-sendiri) adalah bid’ah yang tidak baik (bi’sati
bid’ah)
e. Dan yang terakhir, kalimat bid’ah yang diucapkan oleh Umar
bin Khottob menunjukkan bahwa sholat berjamaah yang dianjurkan olehnya, memang
benar-benar tidak pernah terjadi sebelumnya.Karena bid’ah dalam pengertian
bahasa berarti hal-hal baru yang belum pernah ada.
Adapun pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf
dianggap sudah ada perintah sebelumnya (berupa perintah penulisan ayat-ayat al
Quran), sehingga apa yang diusulkan oleh Umar kepada Abu Bakar r.a. adalah
bukan hal yang baru dalam agama. Pendapat ini bertentangan dengan hadis itu
sendiri, dimana Abu Bakar menolak usulan Umar dengan perkataan, ”Kaifa naf’al syai’an lam yaf’al hu
Rasulullah SAW?”, bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah
dilakukan oleh Rasulullah SAW?. Bagaimana mungkin ada pendapat diatas kalau Abu
bakar sendiri menyatakan usulan Umar tersebut dengan kalimat ‘sesuatu yang
tidak pernah dilakukan Nabi’. Dan kalau memang itu sudah ada perintah dari Nabi
SAW, tentu Umar tidak menjawab penolakan Abu Bakar tersebut dengan kalimat Wallahi, hadza khoir, Demi Alloh, ini baik. Seharusnya ia
menjawab dengan kalimat, hadza
ma amarana Rasulullah SAW, ini
adalah sesuatu yang sudah diperintahkan oleh Nabi SAW. Jadi, dari uraian dua
kasus yang terjadi pada jaman sahabat ini, maka hadis-hadis tentang bid’ah
diatas (kullu bid’atin dlolalah dan ma laisa minhu) tidak boleh dipahami
hanya pada teksnya saja. Karena setelah dikontekskan dengan hadis-hadis dalam
dua kasus pada jaman sahabat tersebut, bisa dipahami kalau Imam Nawawi
mengartikan ‘kullu bid’atin dlolalah’ adalah
kalimat umum yang harus dibatasi maknanya. Artinya, yang dimaksud dengan semua
bid’ah itu sesat adalah bid’ah yang bertentangan dan tidak berdasar pada
hal-hal pokok dalam syari’at Alloh SWT. Dan itulah yang disebut dengan bid’ah sayyi’ah atau madzmummah (tercela). Dan hal-hal yang baru
(bid’ah) namun tidak bertentangan dengan syari’at bahkan bersesuaian, karena
ada rujukan dalilnya, maka ini bisa dikategorikan sebagai bid’ah yanghasanah (baik). Dibawah ini akan dibahas
pendapat sebagian para ulama Ahli Sunnah Wal Jama’ah terkait dengan pembagian
bid’ah pada dua hal tersebut .(Dinukil, dari
buku, Membongkar kebohongan
buku’Mantan Kyai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik’)
Pendapat Beberapa Ulama dalam membagi bid’ah
1. Imam
Nawawi dalam kitabnya Tahdzib al asma’ wa al lughot, jilid 3, hal 22,
mengatakan, Bid’ah terbagi menjadi dua
hal, yang hasanah (baik) dan yang qobihah (buruk).
2. Al Hafizh
ibn al ‘Arabi al Maliki
Nama lengkapnya
adalah Abu Bakar al ‘Arabi al Maliki, seorang pakar hadis yang bergelar al
Hafizh, mufassir dan pakar fiqh dalam madzab Imam al Maliki. Dalam kitabnya
‘Aridhat al Ahwadzi Syarh Jami’ al Tirmidzi jilid 10 halaman 417, mengatakan, Umar berkata, Ini sebaik-baik bid’ah. Bid’ah yang dicela hanyalah
semua bid’ah yang bertentangan dengan as sunnah. Dan perkara baru yang dicela
adalah yang mengajak kepada kesesatan.
3. Al Imam Muhammad bin Isma’il al Shon’ani
Dalam kitabnya
Subulus Salam, Syarh Bulugh al Maram jilid 2 halaman 48, mengatakan, Bid’ah
menurut bahasa adalah sesuatu yang dilakukan tanpa melihat contoh sebelumnya.
Dan yang dimaksud dengan bid’ah disini adalah sesuatu yang dilakukan tanpa
didahului adanya syara’ dari Al Qur’an dan as sunnah. Dan sungguh ulama telah
membagi bid’ah menjadi lima bagian :
1. Bid’ah wajib, seperti menjaga ilmu-ilmu
agama dengan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan
(tetap) menegakkan dalil-dalil.
2. Bid’ah mandubah, seperti membangun madrasah
3. Bid’ah mubahah, seperti bebasnya dalam
macam-macam makanan dan kebanggan pada baju yang bagus
4. Bid’ah yang
diharamkan
5. Bid’ah yang
dimakruhkan, dan keduanya sudah cukup jelas contoh-contohnya. Adapun
hadis,”Semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata yang bersifat umum dimana
pemahamannya dibatasi.”
4.
Ibn Hajar al ‘Asqolani
Beliau adalah
seorang pakar hadis yang bergelar al Hafizd. Diakui kepakaran hadisnya, baik di
Timur maupun Barat. Dalam kitabnya Fath al Bari jilid 4 halaman 253, mengatakan
tentang bid’ah sebagai berikut; Dalam
konteks bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dilakukan tanpa mengikuti contoh
sebelumnya. Dan dalam konteks syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan dari
sunnah, sehingga ia menjadi tercela. Hakekatnya, jika bid’ah itu masuk dalam
wilayah yang dianggap baik oleh syara’, maka itu bid’ah yang baik. Dan jika
bid’ah tersebut masuk dalam wilayah yang dianggap jelek oleh syara’, maka itu
bid’ah yang buruk dan kalau tidak masuk pada keduanya, maka itu masuk pada
wilayah (bagian) yang mubah (boleh). Dan bid’ ah itu dapat terbagi
menjadi lima hukum”.
5.
Al Imam al Syaukani
adalah
Muhammad bin Ali al Syaukani, ahli hadis dan ilmu fiqh. Beliau juga membagi bid’ah dengan mengutip pernyataan Ibn Hajar
dalam kitabnya Nail al Author jilid 3 halaman 25, tanpa memberinya
komentar.(Silahkan pembaca meruju’ buku,Membongkar Kebohongan Buku ‘Mantan Kiai
NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik,yang di susun Tim Bahtsul Masail PC
NU Jember, untuk mendapatkan
kajian tentang pendapat-pendapat ulama yang lebih mendalam)
Pembagian Bid’ah adalah Suatu Keniscayaan
Jika kita melihat kajian para ulama salaf tentang
mafhum bid’ah, maka akan sampai pada suatu kesimpulan, bahwa pembagian bid’ah
adalah suatu keniscayaan. Karena dengan hati orang-orang yang suci dan logika
orang-orang yang berakal akan memberi pemahaman yang komprehensif, mendalam dan
argumentatif pada hadis “kullu bid’atin dlolalah”.
A. Bid’ah dalam
aspek bahasa
Pada
pengertian bahasa, bid’ah adalah suatu hal atau perbuatan yang baru yang tidak
ada contoh sebelumnya. (DR. Ibrahim Anis: Mu’jamaul
Wasith, jilid 1, hal.43. Bandingkan dengan Imam ‘Izzuddin bin
Abdissalam: Qowa’id al Ahkam fiy mashalihil anam, jilid 2 halaman 172 dan Imam an
Nawawy:Tahdzib al Asma’wa al lughot, jilid
3, hal. 22)
Dalam
pengertian bid’ah ini terkadang ada yang hasanah dan ada
pula yang bid’ah tercela. Adapun yang dimaksud bid’ahyang
hasanah adalah semua hal yang baru yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an, as
sunnah dan ijma’. Dan dalam konteks ini tidak perlu dibedakan apakah itu urusan
dunia atau agama. Karena pada hakekatnya semua yang terjadi didalam kehidupan
dunia sudah pasti terkait dengan syara’ atau agama. Bagaimana kita akan makan,
minum atau berpakaian sekalipun itu urusan dunia harus berstandarkan dengan
syara’ atau agama.Dan bahasa yang tepat adalah semua hal-hal yang baru, baik
itu terkait langsung dengan ibadah ghoiru mahdloh atau tidak langsung, selama
berdasarkan Al Qur’an dan as sunnah atau ijma’, maka masuk kategori bid’ah yang
hasanah atau tidak tercela (Bandingkan dengan kajian Imam as Syafi’i pada Al
Baihaqi. Manaqib al Syafi’i,
jilid I, hal. 469)
1. Contoh-contoh bid’ah yang tidak langsung terkait dengan
ibadah
a. Warna pakaian
b. Bentuk pakaian bagi pria, apakah
kemeja atau T-Shirt
c. Semua hal yang terkait dengan
perkembangan tehnologi
d. Pemeliharaan ilmu dengan pembukuannya
e. Dan sebagainya
2. Contoh-contoh bid’ah hasanah yang terkait langsung dengan
ibadah ghoiru mahdloh
a. Dzikir jahr
(mengeraskan dzikir, baik dengan suara atau alat pengeras suara). Ini adalah
bid’ah yang berdasarkan as sunnah. Ali r.a. bercerita,”Abu Bakar bila membaca Al Qur’an dengan suara
lirih, sedangkan Umar dengan suara yang keras, dan ‘Ammar jika membaca Al
Qur’an mencampur surah ini dengan surah yang lainnya. Maka hal tersebut
dilaporkan kepada Nabi SAW, maka beliau bertanya kepada Abu Bakar,”Kenapa
engkau melirihkannya?”, Abu Bakar menjawab,”Alloh dapat mendengar suaraku
walaupun lirih”, dan Nabi bertanya kepada Umar,”Kenapa engkau mengeraskan
suaramu?”, Umar berkata,”Aku ingin mengagetkan setan dan mengusir rasa
kantuk.”,Nabi bertanya kepada ‘Ammar,”Kenapa engkau mencampur surat ini dan
surat itu?”, ‘Ammar menjawab,”Apakah engkau mendengarkan aku mencampur dengan
yang bukan al Qur’an ?”, beliau menjawab,”Tidak”, lalu beliau
bersabda,”Semuanya baik” (HR.
Imam Ahmad)
Hadis
ini menunjukkan bolehnya mengeraskan bacaan Al Qur’an atau dzikrulloh dengan
niat syi’ar dan memungkinkan orang-orang lain dapat terjaga untuk bersegera
melaksanakan ibadah.
b. Dzikir
bareng-bareng (jama’i)
Dzikir
jama’i memiliki manfaat yang besar bagi pelakunya terutama pada masyarakat yang
awam. Bagi mereka dengan bareng-bareng melakukan ibadah dzikir akan mempicu
semangatnya dalam berdzikir. Dan dzikir jama’i ini hanya uslub (teknis) saja untuk berdzikir atau
mendekatkan diri kepada Alloh SWT. Jika ada seseorang yang tidak berkenan
dengan bareng-bareng dalam ibadah-ibadah yang sunnah, tidak mengapa ia
melakukannya secara sendirian.
Adapun
aktifitas dzikir jama’i termasuk aktifitas bid’ah yang tidak tercela karena
masih berlandaskan dengan as sunnah antara lain :
“Tidaklah berkumpul suatu kaum disebuah rumah
dari rumah-rumah Alloh yang mereka lagi membaca kitab Alloh dan saling
mengkajinya diantara mereka kecuali Alloh menurunkan kepada mereka ketenangan
dan rahmat, dan malaikat memagarinya serta Alloh menyebut nama-nama mereka
dihadapan malaikatNya” (HR. Abu Dawud)
Kalimat
“Tidaklah berkumpul suatu kaum”
menunjukkan sebagai dalil dibolehkannya dzikir jama’i.Karena penyebutan kata “kaum” dalam hadis tersebut
menunjukkan kepada banyaknya orang yang melakukan dzikir.
Demikian
juga dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri r.a., dia berkata
: Mu’awiyah r.a. melewati suatu halqah di masjid, lalu dia bertanya,”Majelis
apa ini? ”Mereka menjawab, ”Kami duduk untuk berzikir kepada
Alloh Azza wa
Jalla” Muawiyah bertanya
lagi, ”Demi Alloh, benarkah
kalian duduk hanya untuk itu?”Mereka menjawab, ”Demi Alloh, kami duduk hanya
untuk itu.”Kata Muawiyah selanjutnya, ”Sungguh, aku tidak menyuruh kalian
bersumpah karena mencurigai kalian, karena tidak ada orang yang menerima hadis
dari Rasulullah saw.lebih sedikit daripada aku.”Sesungguhnya Rasulullah pernah
melewati halqah para sahabatnya lalu Rasulullah saw.
Bertanya, ”Majelis apa ini?” Mereka menjawab, ”Kami duduk untuk berzikir kepada
Alloh dan memuji-Nya atas hidayah-Nya berupa Islam dan atas anugerah-Nya kepada
kami. ”Rasulullah saw. bertanya lagi, ”Apakah Demi Alloh kalian duduk hanya
untuk itu?” Mereka menjawab, ”Demi Alloh kami duduk hanya untuk itu.” kata
Rasulullah saw. Selanjutnya, ”Sungguh, aku menyuruh kalian bersumpah bukan
karena mencurigai kalian tetapi karena aku didatangi oleh Jibril a.s. kemudian
dia memberiatahuku bahwa Alloh Azza wa Jalla membanggakan kalian didepan para
malaikat.”(diriwayatkan oleh Muslim, hadis no 1889)
Perhatikan
kalimat Halqoh dalam hadis tersebut,itu menunjukkan
sekumpulan banyak orang.Dan hadis ini juga bisa menjadi dalil bolehnya dzikir
jama’i.
c.Mabit di Mina
Jadid(Mina baru)
Sekalipun
tidak pernah dilakukan oleh Nabi (karena beliau mabit di Mina lama), namun ini menjadi hal
yang hasanah. Karena dengan kondisi melimpahnya jutaan jamaah haji, tentu tidak
akan menampung jika Mina tidak diperluas. Dan akan mendatangkan madlorot (bahaya) jika mereka dipaksa mabit di
Mina lama sebagaimana di jaman Nabi SAW.
d. Do’a dengan
menggunakan bahasa ibu
Doa
yang menggunakan bahasa Jawa, Indonesia, Cina, Arab dengan berbagai susunan dan
gaya bahasanya adalah bid’ah yang dibolehkan bahkan jika itu membuat yang
berdoa lebih khusu’,tentu bid’ah hasanah.
Karena
dijaman Nabi SAW sendiri ada sahabat yang berdoa dengan menggunakan redaksi
yang tidak pernah diajarkan Nabi, namun beliau membolehkannya.
“Anas bin Malik
berkata, ”Suatu saat Rasulullah
SAW lewat disisi laki-laki A’rabi yang sedang berdoa dalam sholatnya dan ia
berdoa,” Ya Tuhan yang semua mata
tidak sanggup melihatNya, tidak dipengaruhi oleh keraguan, tidak bisa disifati
oleh siapapun, tidak bisa merubahNya waktu yang berjalan, tidak takut oleh
malapetaka, Dia, Alloh yang mengetahui timbangan gunung, takaran lautan, jumlah
tetesan air hujan, jumlah dedaunan dari pohon-pohonnya, jumlah segala apa yang
ada dalam gelapnya malam dan terangnya siang, tidak menghalangiNya dari langit
satu ke langit yang lainnnya, bumi satu ke bumi yang lain, dan lautan tidak
dapat menyembunyikan dasarnya, gunung tidak dapat menyembunyikan isinya, (Ya Alloh) jadikanlah sebaik-baik
umurku pada akhirnya, sebaik-baik aktifitasku pada penghujungnya dan
sebaik-baik hariku pada hari aku bertemu denganMu”. Setelah selesai ia berdoa,
Nabi SAW memanggilnya dan memberikan padanya emas dan beliau bersabda,”Aku berikan kamu emas, karena bagusnya
pujianmu kepada Alloh ‘Azza wa Jalla(HR.Al Thabarani dalam al
Mu’jam al Ausath dengan sanad jayyid)
e.
Istilah-istilah wajib, mandubah, makruh,mubah atau haram yang di jaman nabi SAW tidak pernah
ada.Namun di jaman setelahnya keberadaan istilah-istilah tersebut dalam kajian
ushul fiqih dan ilmu fiqh tentu sangat hasanah dan bermanfa’at.
Pada prinsipnya, bid’ah-bid’ah lughowiyyah (bahasa) baik yang terkait tidak
langsung atau terkait langsung dengan ibadah ghoiru mahdloh seperti
contoh-contoh diatas, kalau memang berdasarkan Al Qur’an dan as sunnah, atau
ijma’ dan qiyas,sudah tentu melalui metode ijtihad maka bid’ah lughowiyyah
tersebut,akan menjadi bid’ah hasanah (baik).
Hampir semua persoalan yang masuk wilayah ijtihad
adalah persoalan-persoalan yang baru dan belum pernah ada di jaman Nabi
SAW.Misalnya,tentang darah nifas yang tidak ada nash yang membicarakan hal
tersebut.Para ulama berbicara tentang darah nifas dengan
diqiyaskan/dianalogikan kepada darah haid.Demikian pula tentang zakat
profesi,zakat fithrah dengan uang,jumlah raka’at sholat teraweh (20
raka’at),qunut dalam sholat teraweh ditengah bulan Ramadhan,qunut dalam sholat
shubuh,pemberian titik dalam mushhaf al Quran,memperingati hari-hari besar
dalam islam,adzan kedua dalam sholat jum’at,miqot makani di Jeddah bagi jama’ah dari Asia,sa’i
dilantai kedua dan sebagainya.
Dan karena masuk wilayah ijtihad maka bisa
dipastikan akan memunculkan perbedaan dari hasil ijtihad tersebut. Namun
perbedaan itu, sah-sah saja dan bisa dimaklumi karena berdasarkan hadis Nabi
Muhammad SAW,
“Apabila seorang hakim melakukan ijtihad, lalu
ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala, Dan apabila ia melakukan
ijtihad lalu keliru, maka ia memperoleh satu pahala” (HR. Bukhori)
Jadi,menurut Nabi SAW dalam wilayah ijtihad(selama
memenuhi ketentuan dan persyaratan dalam berijtihad) tidak ada yang mengarah
kepada kesesatan.Oleh karenanya janganlah menuduh orang lain
sesat atau melakukan aktifitas bid’ah
dlolalah,yang ujungnya musyrik dan
kafir hanya karena perbedaan pendapat dari hasil ijtihadnya.Selama
ijtihad tersebut dihasilkan oleh orang-orang yang memenuhi syarat dalam
berijtihad,maka hasil ijtihadnya tidak bisa digugurkan oleh ijtihad lainnya.
Adapun bid’ah dalam pengertian bahasa, namun
tidak lahir dari proses ijtihad, sehingga bertentangan dengan Al Qur’an dan as
sunnah maka bid’ah seperti ini adalah madzmumah (tercela). Seperti model-model pakaian
yang memamerkan ketiak dan paha atau aurat-aurat lainnya, yang sekarang lagi
digandrungi anak-anak muda. Dan banyak contoh-contoh lainnya.Atau bid’ah dalam
urusan ibadah mahdloh(murni),seperti jumlah roka’at dalam sholat wajib,maka
melakukan bid’ah tersebut dengan merubah jumlah raka’at tanpa ada ‘udzur syar’i
adalah kesesatan.
Ada pertanyaan dari mereka(Wahhabiyyah), “Jika bid’ah dalam hal-hal yang berkaitan dengan
ibadah itu hasanah (baik), tentulah generasi-generasi sahabat akan lebih cepat
melakukannya.Tapi kenapa sahabat-sahabat tidak juga melakukannya? Apakah generasi khalaf itu lebih baik
daripada generasi-generasi sahabat?”.
Tentu pertanyaan tersebut tidak perlu ada. Karena
apakah kita berani berkata bahwa Bilal yang telah melakukan ijtihad untuk
sholat dua rakaat setelah wudlu dengan waktu yang telah ditentukan, lebih baik
daripada Nabi SAW?. Dimana Nabi SAW tidak pernah melakukan sebelumnya. Kalau
itu baik kenapa Nabi tidak melakukannya terlebih dahulu ?.
Ada riwayat dari Rifa’ah bin Rafi’ r.a., beliau
berkata,”Suatu ketika kami sholat bersama Nabi SAW,
ketika beliau bangun dari ruku’nya, beliau berkata,”Sami’allahu liman hamidah”,
Seorang sahabat berkata dibelakangnya, “Rabbana walakal hamdu hamdan katsiran
thoyyiban mubarakan fih.”.Ketika selesai sholat Nabi SAW bertanya,”Siapa yang
berkata tadi?”, sahabat tadi menjawab,”Saya”,beliau bersabda,”Aku telah melihat
ada lebih 30 malaikat berebut menulis pahalanya”(HR. Bukhori, An
Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad)
Al Hafizh ibn Hajar mengomentari hadis tersebut
dalam kitabnya Fath al Bari jilid 2 halaman 267, bahwa hadis itu bisa menjadi
dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam sholat, apabila tidak menyalahi dzikir
yang ma’tsur dan bolehnya mengeraskan suara dalam
bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain.
Apakah kita berani berkata bahwa sahabat tersebut
lebih baik dari Rasulullah SAW yang bacaannya dalam I’tidallebih
panjang?padahal Rasulullah SAW tidak melakukan sebelumnya.Dan kenapa Rasulullah
tidak melakukannya terlebih dahulu, jika itu baik?.
Dan kenapa pula Abu Bakar tidak bersegera membukukan
Al Qur’an dalam satu mushaf padahal itu adalah hal yang baik?. Kenapa harus
menunggu usulan dari Umar bin Khottob? Apakah Umar bin Khottob lebih baik
daripada Abu Bakar?.Tentu tidak !, karena apa yang dilakukan oleh
generasi-generasi terbaru (khalaf) terkait yang bid’ahhasanah
bukan berarti generasi-generasi sebelumnya (salaf) yang tidak melakukan bid’ah
hasanah tersebut karena menganggapnya sebagai suatu kesesatan. Bisa jadi mereka
meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada udzur yang terjadi pada saat itu,
misalnya banyak peperangan sehingga sangat sibuk untuk itu, atau karena ada amaliah lain yang lebih utama atau barangkali
hal itu belum diketahui oleh mereka (lihat perkataan Imam as Syafi’i yang
senada dengan itu, yang dinukil oleh Hafizh al Ghimari dalam Itqon as Shun’ah
fi Tahqiqi ma’na al bid’ah. Halaman 5).
Dan dalam hal-hal tertentu,terkadang generasi selain
sahabat jauh lebih baik dari generasi sahabat.Hal tersebut disebabkan karena
perkembangan masalah atau problem kemasyarakatan semakin modern dan kompleks
dan membutuhkan penyelesaian melalui kecerdasan ber ijtihad.Lebih-lebih dengan
tidak hadirnya Nabi SAW di tengah-tengah mereka (generasi selain
sahabat).Sehingga,jika mereka bisa menyelesaikan persoalan-persoalan keimanan
atau keagamaan tanpa Nabi SAW ditengah-tengah mereka adalah sebuah hal yang
luar biasa dibandingkan dengan sahabat-sahabat Nabi SAW.Coba renungkan hadis
dibawah ini;
“Dari ‘Ubaidah bin al Jarrah RA berkata : Ya
Rosululloh,adakah seseorang yang lebih baik dari pada kami?, kami berislam dihadapanmu dan berjihad
bersama engkau.Rosululloh menjawab : ‘(Ada yaitu) generasi setelah kalian yang
beriman kepadaku sekalipun tidak pernah melihatku”.Hadis riwayat dari
Ahmad,Thobaroni dan di shahihkan oleh al Hakim.(Lihat,Ahmad Syarifuddin,al Zad
al Mustafad,hal 74).
B. Bid’ah dalam
Pengertian Syar’i
Bid’ah inilah yang masuk
kategori sesat. Karena segala hal yang baru yang tidak berdasarkan kepada
syara’, bahkan berlawanan,maka ini termasuk bid’ah dlolalah dan setiap yang bid’ah dlolalah pasti tercela dan tidak perlu
dihidup-hidupkannya.
Seperti adanya aliran-aliran sesat sejak jaman awal
Islam berkembang seperti, Khawarij,Murji’ah, dan sebagainya. Hingga orang-orang
di jaman sekarang dengan kelompoknya mengakui adanya nabi palsu dari mereka
sendiri adalah suatu bid’ah syar’iyah yang sesat, dan setiap yang sesat
sudah pasti di neraka.
PENUTUP
Demikian, kajian tentang bagaimana kita memahami bid’ah yang benar dan argumentatif serta
rasional. Tidak ada maksud apapun dari penulisan ini, kecuali berharap ridlo
Alloh SWT dengan membela para ulama yang sholeh, yang telah banyak memberikan
kontribusi pemikiran pada umat Islam ini. Membela dari caci maki
kelompok-kelompok yang begitu sempit memahami bid’ah dan dengan itu menjadikan senjata
untuk mengkufuri para ulama yang ikhlas tersebut.
Sungguh, pena merasa malu untuk menulis caci maki
yang mereka keluarkan, dan julukan-julukan jelek yang mereka lontarakan
terdengar begitu risih oleh telinga orang yang mendengarkan, demikian tulis murobbi kami, DR. As Sayyid Muhammad Alawy al
Maliky al Hasany, dalam kitabnya al
Ghuluw.
Disamping mengharap ridloNya, tidak lupa kami juga
berterima kasih pada Tim Bahtsul Masail PC NU Jember yang secara tidak langsung
telah banyak membantu penulisan ini dengan membuat mudah penulis menukil
pendapat para ulama salaf dari buku “Membongkar Kebohongan Buku ‘Mantan Kyai
NU menggugat sholawat dan dzikir syirik” yang
disusun tim tersebut. Semoga Alloh memberikan pahala yang layak bagi tim
tersebut. Jazaakumulloh
Ahsanal jaza’. Amin.
Wallohu
A’lam.
Sumber: dar-alkayyis.com