Dalil Menghajikan Orang Yang Telah Meninggal
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: أَتَى
رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ: إِنَّ أُخْتِي
قَدْ نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ، وَإِنَّهَا مَاتَتْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ قَالَ:
نَعَمْ، قَالَ: فَاقْضِ اللَّهَ، فَهُوَ أَحَقُّ بِالقَضَاءِ
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu
‘anhuma ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam lalu berkata kepada beliau: “Sesungguhnya saudara perempuanku nadzar
untuk berhaji, tetapi ia meninggal dunia”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Andaikata ia mempunyai hutang, bukankah engkau akan
membayarnya?”. Ia menjawab: “Ya”. Beliau kemudian bersabda: ”Maka bayarlah
hutang haji itu kepada Allah, sebab Allah lebih berhak untuk dibayar”. (Shahih
Bukhari juz 8 hal. 142 no. 6699).
Dalil kedua, hadits Nabi:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ : إِنِّي
تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّي بِجَارِيَةٍ وَإِنَّهَا مَاتَتْ فَقَالَ : وَجَبَ
أَجْرُكِ ، وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيرَاثُ ، قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ،
إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا ؟ قَالَ : صُومِي
عَنْهَا ، قَالَتْ : إِنَّهَا لَمْ تَحُجَّ قَطُّ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ :
حُجِّي عَنْهَا
Dari Abdullah bin Buraidah
radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Ketika kami duduk di sisi Rasulullah
sallallahu alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seorang wanita datang dan bertanya:
"Sesungguhnya saya bersedekah budak untuk ibuku yang telah
meninggal". Beliau bersabda: "Engkau mendapatkan pahalanya dan
dikembalikan kepada engkau warisannya". Dia bertanya: "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya beliau mempunyai (tanggungan) puasa sebulan, apakah
saya puasakan untuknya?" Beliau menjawab: "Puasakan untuknya".
Dia bertanya lagi: "Sesungguhnya beliau belum pernah haji sama sekali,
apakah (boleh) saya hajikan untuknya?" Beliau menjawab: "Hajikan
untuknya". (Shahih Muslim juz 2 hal. 805 no. 1149).
Dalil ketiga, penjelasan Imam Ibnu
Hajar rahimahullah: Ulama yang memperbolehkan menggantikan haji orang lain
bersepakat, bahwa tidak diterima haji wajib kecuali untuk orang meninggal dunia
atau lumpuh. Maka orang sakit tidak termasuk yang dibolehkan, karena ada
harapan kesembuhannya. Tidak juga orang gila, karena ada harapan normal. Tidak
juga orang yang dipenjara, karena ada harapan bebas. Tidak juga orang fakir
karena mungkin dia akan menjadi kaya.
Dalil keempat, penjelasan Imam
Nawawi rahimahullah: Mayoritas ulama mengatakan bahwa menghajikan orang lain
itu dibolehkan untuk orang yang telah meninggal dunia dan orang lemah (sakit)
yang tidak ada harapan sembuh.
Qadhi Iyadh berpendapat berbeda
dengan madzhabnya (Malikiyah) dengan tidak menganggap hadits (yang membolehkan)
menggantikan puasa bagi orang meninggal dan menghajikannya. Dia berkesimpulan
bahwa haditsnya mudhtharib (tidak tetap). Alasan ini batil, karena haditsnya
tidak mudhtharib. Cukuplah bukti kesahihan hadits ini manakala Imam
Muslim menjadikannya sebagai hujah dalam kitab shahihnya. Dan masih banyak lagi
dalil lainnya yang tidak dapat kami tampilkan seluruhnya di sini.
Sedangkan pandangan kebanyakan para
ulama pemuka madzhab (Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah) menyatakan bahwa
boleh menghajikan orang yang telah meninggal, sedangkan menurut qaul mu’tamad
madzhab Malikiyah menyatakan bahwa tidak boleh ada perwakilan dalam haji, baik
untuk yang masih hidup ataupun telah meninggal, dengan udzur ataupun tanpa
udzur. Wallahu a’lam.
Referensi:
Fathul Bari li Ibni Hajar juz 4 hal. 70
واتفق من أجاز النيابة في الحج على أنها لا تجزى في الفرض إلا
عن موت أو عضَب – أي : شلل - ، فلا يدخل المريض ؛ لأنه يرجى برؤه ، ولا المجنون ؛
لأنه ترجى إفاقته ، ولا المحبوس ؛ لأنه يرجى خلاصه ، ولا الفقير ؛ لأنه يمكن
استغناؤه
Syarh
an Nawawiy 'ala Muslim juz 8 hal. 27
والجمهور على أن النيابة في الحج جائزة عن الميت والعاجز
الميئوس من برئه ، واعتذر القاضي عياض عن مخالفة مذهبهم – أي : المالكية - لهذه
الأحاديث في الصوم عن الميت والحج عنه بأنه مضطرب ، وهذا عذر باطل ، وليس في
الحديث اضطراب ، ويكفى في صحته احتجاج مسلم به في صحيحه
Al
Mausu’ah al Fiqhiyyah juz 17 hal. 72
ذهب الجمهور ( الحنفية والشافعية والحنابلة ) إلى مشروعية الحج
عن الغير وقابليته للنيابة ، وذهب مالك على المعتمد في مذهبه إلى أن الحج لا
يقبل النيابة لا عن الحي ولا عن الميت ، معذورا أو غير معذور
0 komentar: