Imam Nafri berkata: “Pintu terdekat
kepada Allah
SWT adalah Sabar”. Dalam sabda Nabi
Muhammad disebutkan: “Sabar itu sebagian dari
Iman”.
Begitu pentingnya sikap sabar dalam hidup sehingga
ditempatkan dalam posisi yang strategis dalam kehidupan manusia, baik secara
umum dan khusus keagamaan. Orang seringkali berkata: “Sabar itu ada batasnya..…”
Seolah-olah kalimat tersebut sungguh pas untuk menggambarkan bahwa
seseorang sudah berusaha bersabar, tetapi bagaimanapun tidak bisa terus menerus
bersabar, jadi sabar itu ada batasnya.
Seolah-olah
kalimat tersebut mencerminkan sebuah kebenaran, tetapi hanya sebuah apologi
semata, membela diri untuk menutup kelemahannya. Kalimat “seolah-olah”
menunjukkan kearifan itu sebenarnya adalah bisikan syaitan, tipu daya syaitan.
Baiklah kita kupas; Benarkan sabar ada batasnya? Bagaimana
mungkin sebuah kebaikan dan anjuran agama yang diletakkan pada posisi sangat
penting dibatasi? Bukankah yang sebenarnya adalah keterbatasan manusia dalam
menjalankan sabar? Bukan sabar itu sendiri yang terbatas. Seperti sholat,
sebagai kebaikan, apakah dibatasi? memang diatur mana yang boleh dan tidak,
mana waktu sholat A dan mana sholat B. Itu tidak membatasi, hanya
mengatur/regulasi. Sholat sunnah ada sholat mutlaq, yang bebas aturannya. Suatu
ketika ada sahabat Nabi melaksanakan sholat sunnah sampai kakinya bengkak, maka
Nabi menegur untuk tidak diteruskan kebiasaannya. Bukan
berarti Nabi membatasi orang sholat sunnah, tetapi kemampuan manusia
terbatas, jika berlebihan akibatnya akan sangat tidak baik.
Demikian pula sabar. Tidak dibatasi,
tetapi kemampuan manusia itu sendirilah yang terbatas untuk menjalankannya.
Nabi Muhammad adalah manusia yang sudah mencapai puncak kesabaran, bahkan
Jibril yang tak bernafsu saja “menyerah” atas kesabaran beliau. Sehingga kalau
kita tidak bisa seperti Nabi, paling tidak kita mau menyadari bahwa itulah
referensi terbaik akhlak bersabar, sekaligus menyadari dan mengakui bahwa
manusia punya batas-batas kemampuan masing-masing untuk menjalankan kesabaran.
Jadi mampu mengucapkan: “Saya masih belum bisa bersabar atas masalah ini.
Semoga tindakanku ini dimaafkan Allah SWT,
dan dimudahkan Allah SWT”. atau “Saya sebagai
manusia mempunyai keterbatasan untuk bersabar, maafkanlah dan ampunilah”.
By the way, apakah sabar itu? sikap
diam, sikap pasif, tidak peduli. Apakah do’a Nabi Nuh as terhadap
umatnya kemudian ditenggelamkan itu bersabar? Apakah Sikap Musa as menenggelamkan
Raja Fir’aun dan pasukannya termasuk bersabar? Atau ketika
Ibrahim as menyembelih
anaknya juga termasuk sabar?
Agak sulit memang menemukan definisi
sabar yang benar-benar pas. Antara satu orang dengan lainnya bisa mempunyai
definisi yang berbeda. Wajar jika demikian, sebab sabar merupakan istilah yang
memuat hal-hal fisik dan non fisik. Campuran yang abstrak dengan yang riil.
Sabar bisa tercermin dalam sikap perilaku yang keliatan, tetapi dia dida-sari
pada sikap batin yang abstrak, ghoib. Allah tidak memberi batasan yang
benar-benar jelas. Di berbagai ayat al Qur’an sabar muncul. Salah satunya
adalah ketika menggambarkan orang yang sabar:“…mereka yang ketika ditimpa
musibah berkata inna lillahi wa innaa ilaihi rojiun”. Orang sabar digambarkan
oleh Allah adalah mereka yg ketika
ditimpa musibah (kejadian yg tdk mengenakkan-pen) berujar kalimat istirja’ (innaa lillahi wa
innaa ilaihi rojiun). Gambaran tersebut lebih fokus kepada
musibah, bukan nikmat. Allah paham betul terhadap
psikologis manusia.
Ketika nikmat manusia akan mudah
mengucap terima kasih. Mudah memuji Allah SWT. Tetapi bagaimana
kalau tidak menyenangkan? semoga
disitu-lah
akan tergambar kesabaran seseorang. Dari sini ada satu pelajaran yang bisa kita
ambil, bahwa manusia yang teruji adalah ketika mereka bisa melalui kesulitan,
ketidakenakan. Kalau mau tahu apakah manusia itu bersukur atau tidak, maka
lihatlah ketika tidak punya apa-apa. Apakah kita termasuk orang yang bersukur
atau tidak atas kesehatan, maka lihatlah sikap kita ketika sakit. Apakah anda
akan menggerutu dan mengomel ketika sakit? jika ya, berarti kita tidak bersukur atas kesehatan. Terkadang kita diberi flu
satu jam saja mengeluhnya luar biasa, lupa jika Allah
memberi sehat selama puluhan tahun, itulah manusia yang
sering melupakan Allah. Tidak enak sedikit saja melupakan nikmat besar dan lama
sebelumnya.
Tepat sekali Allah menggambarkan
tentang manusia yang sabar itu. Di saat tidak enak, maka manusia itu dengan
penuh kesadaran mengakui: “sungguh…kami ini adalah milik Allah dan kami
semua akan kembali kepada Allah…”. Kalimat ini dalam masyarakat kita sudah
dipelintir sedemikian rupa hanya berlaku ketika ada orang meninggal. Kalau mau
jujur sungguh ungkapan itu diucapkan hanya ketika ada orang meninggal adalah
menge-cilkan
arti yang sesungguhnya. Ungkapan itu akan keluar dari mulut mereka yang terkena
musibah, bukan orang yang tidak kena musibah.
Seandainya diucapkan orang lain, maka itu adalah bentuk mengingatkan untuk
bersabar bagi yang ditimpa musibah.
Kata kami “innaa”
adalah menunjukkan subyek jamak (pertama) atau kami. Jadi,
saya dan apa yang beserta saya. Sehingga disitu yang menjadi milik Allah SWT
ada saya dan apa saja yang beserta saya, baik benda, kejadian atau apapun. Sehingga ketika ada kejadian yang
membuat kita tidak nyaman, tidak menyenangkan, maka Allah SWT mengajari kita untuk
mengakui bahwa itu semua dari Allah SWT. Orang sering dan mudah mengumpat ketika cuma tersandung. Siapa sebenarnya yang
diumpat? kaki, batu, kejadian atau yang menciptakan kejadian tersandung
tersebut. Sungguh seandainya tahu, orang di dunia ini tidak akan mudah
mengumpat. Demikian pula mengeluh, di al Qur’an
berkali-kali disebut “wa laa tai-asu..” (jangan
putus as atas
rahmat Allah).
Kenapa lupa dengan nikmat-nikmat yang telah diberikan selama ini (fa bi ayyi alaai robbikuma tukadziban)?
Dengan demikian, sabarkah diri kita??
cobalah apa yang pertama kali muncul dalam benak kita, hati kita; apa yang
pertama terucap dari mulut kita ketika kita menemui kejadian, situasi, dan
sesuatu yang buat diri kita tidak enak, tidak senang. Apapun yang muncul dalam benak
kita, apapun yang terucap dari mulut kita, maka itulah indikator kesabaran
kita. Selanjutnya nilailah sendiri…!! hanya Anda
dan Allah SWT
yang paling tahu tentang diri Anda.
Sabar adalah sebuah sikap yang tidak
hanya soal ucapan, tetapi lebih dari itu, yaitu sikap hati, sikap batin yang
terlahir melalui sikap perilaku dan dipertegas melalui ucapan. Sabar demikian
penting, tetapi demikian berat dilakukan? untuk apa itu semua dilakukan?
seberapa penting sabar dalam hidup, dalam ajaran agama?
Jika pada pembahasan
sebelumnya mengulas apa itu sabar, bagian ini akan membahas untuk apa bersabar.
Allah berfirman: ”Mintalah dengan sabar dan sholat, sesungguhnya Allah bersama orang yang bersabar”. Ayat ini dengan
tegas menyebutkan dua fungsi sabar, yaitu untuk meminta (solusi atas berbagai
masalah) dan dekat kepada Allah. Dua hal itu tidak dapat dipisahkan dan pada
ujungnya tetap dekat kepada Allah SWT.
Sering kali diantara kita bertanya
dengan penuh heran; “mengapa orang-orang kafir kok sukses dalam
hidupnya? berhasil dalam kehidupan?”, diantara kita ada yang memberi
jawaban:”ah itu kan keberhasilan semu, Allah Swt. hanya
menguji atau memanjakan saja dan tidak berarti
benar-benar di sayang sama Allah”. Jawaban tersebut lebih pada penyelematan
keimanan agar orang tidak jatuh dan tertarik pada keberhasilan orang-orang
kafir dan akhirnya mengikuti jalan hidup orang kafir. Tidak ada salahnya jawa-ban
itu. Tetapi kurang mengena, tidak fokus pada jawaban mengapa. Ayat yang saya
kutip di atas benar-benar menegaskan bahwa kesabaran adalah kunci. Disinilah
sisi universal hukum Allah SWT (Sunnatullah) yang tertuang dalam al Qur’an. Siapa sabar
ya bisa mengatasi masalah, tidak peduli siapapun dia, agama apapun dia. Jadi,
jangan heran ketika, ada orang yang menyembah cuma batu
bisa sukses, bisa mengatasi masalah hidupnya. Sebab dia sudah bersabar dalam
usaha, bersabar atas mencari solusi, meski dia terantuk
batu. Jadi,
inilah keadilan Allah yang didasarkan pada hukumnya yang universal. Disinilah
penjelasan mengapa maling, koruptor dan sebagainya kok ya bisa berhasil.
Mereka melakukan kejahatan dengan ketelitian, kesabaran. Jadi,
itupun bisa dilakukan.
Bagi orang-orang beriman perlu
diingatkan dengan penegasan Allah bahwa:
“Sesungguhnya Allah
beserta orang bersabar”. Ada dua bentuk kedekatan dengan Allah dalam ayat tersebut,
yaitu Manusia yang mendekati Allah (dengan Sholat) dan Allah SWT
yang mendekati manusia (dengan bersabar). ketika manusia bisa bersabar seperti
yang diuraikan sebelumnya, yang bersumbu pada Allah SWT,
maka pada saat itu Allah SWT menyertai manusia
itu. Penegasan itu pula yang pada akhirnya membedakan orang beriman dengan
tidak. Seolah-olah Allah berkata, ketika manusia sudah bersabar bisa jadi bukan
keberhasilan, tetapi kegagalan. Oleh karena itu, Allah akan tetap menemani
manusia tersebut, meski tidak dikabulkan secara langsung. Bagi orang beriman,
jawaban itu sungguh luar biasa. Persoalannya, bukan bicara
dikabulkan atau tidak, diterima atau tidak permintaannya,
tetapi jaminan Allah akan menyertai itu sungguh luar biasa. Jika sholat manusia
berusaha keras mendekati Allah, malah ini sebaliknya. Oleh karena itu,
kenikmatan didekati itu merupakan anugrah yang luar biasa, sehingga tetap
membuat manusia tetap bersabar dan tetap mendamba didampingi Allah Swt. Mana
ada kenikmatan yang lebih luar biasa selain itu??? Bahkan dalam kitab-kitab
klasik disebutkan kenikmatan pada ujungnya di surga nanti adalah “melihat
wajah Allah”. Ketika di dunia ini bisa di dampingi, disertai
Allah terus menerus, maka dia sebenarnya sudah mencapai kenikmatan surgawi,
tanpa menyentuh surga itu sendiri.
Begitu agungnya bersabar, memang mudah
diucap, meski sulit dilakukan, bukan? Tetapi mengapa kita
masih enggan untuk berusaha menempuhnya? Apakah ada alasan yang meyakinkan
untuk menolak bersabar? Bahkan orang kafir, penjahat, kriminal mengakui
keutamaan bersabar. Maling-maling di malam hari, mau bersabar menunggu pemilik
rumah untuk tidur; penculik rela berhari-hari mondar-mandir mempelajari lokasi. Mudah mengatakan, tapi sulit mengerjakan, bukan? Allahummaj’alnaa
minashoobiriin. Amiin
Farid Waidi SR
Sekretaris
MWC NU Wates Kediri