Jumat, 25 Agustus 2017

Sabar Jalan Pintas Menggapai Ridla Allah

Sabar Jalan Pintas Menggapai Ridla Allah



Imam Nafri berkata: “Pintu terdekat kepada Allah SWT adalah Sabar”. Dalam sabda Nabi Muhammad disebutkan: “Sabar itu sebagian dari Iman”. Begitu  pentingnya sikap sabar dalam hidup sehingga ditempatkan dalam posisi yang strategis dalam kehidupan manusia, baik secara umum dan khusus keagamaan. Orang seringkali berkata: “Sabar itu ada batasnya..…” Seolah-olah kalimat tersebut sungguh pas untuk menggambarkan bahwa seseorang sudah berusaha bersabar, tetapi bagaimanapun tidak bisa terus menerus bersabar, jadi sabar itu ada batasnya.
Seolah-olah kalimat tersebut mencerminkan sebuah kebenaran, tetapi hanya sebuah apologi semata, membela diri untuk menutup kelemahannya. Kalimat seolah-olah menunjukkan kearifan itu sebenarnya adalah bisikan syaitan, tipu daya syaitan. Baiklah kita kupas; Benarkan sabar ada batasnya? Bagaimana mungkin sebuah kebaikan dan anjuran agama yang diletakkan pada posisi sangat penting dibatasi? Bukankah yang sebenarnya adalah keterbatasan manusia dalam menjalankan sabar? Bukan sabar itu sendiri yang terbatas. Seperti sholat, sebagai kebaikan, apakah dibatasi? memang diatur mana yang boleh dan tidak, mana waktu sholat A dan mana sholat B. Itu tidak membatasi, hanya mengatur/regulasi. Sholat sunnah ada sholat mutlaq, yang bebas aturannya. Suatu ketika ada sahabat Nabi melaksanakan sholat sunnah sampai kakinya bengkak, maka Nabi menegur untuk tidak diteruskan kebiasaannya. Bukan berarti Nabi membatasi orang sholat sunnah, tetapi kemampuan manusia terbatas, jika berlebihan akibatnya akan sangat tidak baik.
Demikian pula sabar. Tidak dibatasi, tetapi kemampuan manusia itu sendirilah yang terbatas untuk menjalankannya. Nabi Muhammad adalah manusia yang sudah mencapai puncak kesabaran, bahkan Jibril yang tak bernafsu saja “menyerah” atas kesabaran beliau. Sehingga kalau kita tidak bisa seperti Nabi, paling tidak kita mau menyadari bahwa itulah referensi terbaik akhlak bersabar, sekaligus menyadari dan mengakui bahwa manusia punya batas-batas kemampuan masing-masing untuk menjalankan kesabaran. Jadi mampu mengucapkan: “Saya masih belum bisa bersabar atas masalah ini. Semoga tindakanku ini dimaafkan Allah SWT, dan dimudahkan Allah SWT”. atau “Saya sebagai manusia mempunyai keterbatasan untuk bersabar, maafkanlah dan ampunilah”.
By the way, apakah sabar itu? sikap diam, sikap pasif, tidak peduli. Apakah do’a Nabi Nuh as terhadap umatnya kemudian ditenggelamkan itu bersabar? Apakah Sikap Musa as menenggelamkan Raja Fir’aun dan pasukannya termasuk bersabar? Atau ketika Ibrahim as menyembelih anaknya juga termasuk sabar?
Agak sulit memang menemukan definisi sabar yang benar-benar pas. Antara satu orang dengan lainnya bisa mempunyai definisi yang berbeda. Wajar jika demikian, sebab sabar merupakan istilah yang memuat hal-hal fisik dan non fisik. Campuran yang abstrak dengan yang riil. Sabar bisa tercermin dalam sikap perilaku yang keliatan, tetapi dia dida-sari pada sikap batin yang abstrak, ghoib. Allah tidak memberi batasan yang benar-benar jelas. Di berbagai ayat al Qur’an sabar muncul. Salah satunya adalah ketika menggambarkan orang yang sabar:“…mereka yang ketika ditimpa musibah berkata inna lillahi wa innaa ilaihi rojiun”. Orang sabar digambarkan oleh Allah adalah  mereka yg ketika ditimpa musibah (kejadian yg tdk mengenakkan-pen) berujar kalimat istirja’ (innaa lillahi wa innaa ilaihi rojiun). Gambaran tersebut lebih fokus kepada musibah, bukan nikmat. Allah paham betul terhadap psikologis manusia.
Ketika nikmat manusia akan mudah mengucap terima kasih. Mudah memuji Allah SWT. Tetapi bagaimana kalau tidak menyenangkan? semoga disitu-lah akan tergambar kesabaran seseorang. Dari sini ada satu pelajaran yang bisa kita ambil, bahwa manusia yang teruji adalah ketika mereka bisa melalui kesulitan, ketidakenakan. Kalau mau tahu apakah manusia itu bersukur atau tidak, maka lihatlah ketika tidak punya apa-apa. Apakah kita termasuk orang yang bersukur atau tidak atas kesehatan, maka lihatlah sikap kita ketika sakit. Apakah anda akan menggerutu dan mengomel ketika sakit? jika ya, berarti kita tidak bersukur atas kesehatan. Terkadang kita diberi flu satu jam saja mengeluhnya luar biasa, lupa jika Allah memberi sehat selama puluhan tahun, itulah manusia yang sering melupakan Allah. Tidak enak sedikit saja melupakan nikmat besar dan lama sebelumnya.
Tepat sekali Allah menggambarkan tentang manusia yang sabar itu. Di saat tidak enak, maka manusia itu dengan penuh kesadaran mengakui: “sungguh…kami ini adalah milik Allah dan kami semua akan kembali kepada Allah…”. Kalimat ini dalam masyarakat kita sudah dipelintir sedemikian rupa hanya berlaku ketika ada orang meninggal. Kalau mau jujur sungguh ungkapan itu diucapkan hanya ketika ada orang meninggal adalah menge-cilkan arti yang sesungguhnya. Ungkapan itu akan keluar dari mulut mereka yang terkena musibah, bukan orang yang tidak kena musibah. Seandainya diucapkan orang lain, maka itu adalah bentuk mengingatkan untuk bersabar bagi yang ditimpa musibah.
Kata kami innaa adalah menunjukkan subyek jamak (pertama) atau kami. Jadi, saya dan apa yang beserta saya. Sehingga disitu yang menjadi milik Allah SWT ada saya dan apa saja yang beserta saya, baik benda, kejadian atau apapun. Sehingga ketika ada kejadian yang membuat kita tidak nyaman, tidak menyenangkan, maka Allah SWT mengajari kita untuk mengakui bahwa itu semua dari Allah SWT. Orang sering dan mudah mengumpat  ketika cuma tersandung. Siapa sebenarnya yang diumpat? kaki, batu, kejadian atau yang menciptakan kejadian tersandung tersebut. Sungguh seandainya tahu, orang di dunia ini tidak akan mudah mengumpat. Demikian pula mengeluh, di al Qur’an berkali-kali disebut “wa laa tai-asu..” (jangan putus as atas rahmat Allah). Kenapa lupa dengan nikmat-nikmat yang telah diberikan selama ini (fa bi ayyi alaai robbikuma tukadziban)?
Dengan demikian, sabarkah diri kita?? cobalah apa yang pertama kali muncul dalam benak kita, hati kita; apa yang pertama terucap dari mulut kita ketika kita menemui kejadian, situasi, dan sesuatu yang buat diri kita tidak enak, tidak senang. Apapun yang muncul dalam benak kita, apapun yang terucap dari mulut kita, maka itulah indikator kesabaran kita. Selanjutnya nilailah sendiri…!! hanya Anda dan Allah SWT yang paling tahu tentang diri Anda.
Sabar adalah sebuah sikap yang tidak hanya soal ucapan, tetapi lebih dari itu, yaitu sikap hati, sikap batin yang terlahir melalui sikap perilaku dan dipertegas melalui ucapan. Sabar demikian penting, tetapi demikian berat dilakukan? untuk apa itu semua dilakukan? seberapa penting sabar dalam hidup, dalam ajaran agama?
Jika pada pembahasan sebelumnya mengulas apa itu sabar, bagian ini akan membahas untuk apa bersabar. Allah berfirman: ”Mintalah dengan sabar dan sholat, sesungguhnya Allah bersama orang yang bersabar”. Ayat ini dengan tegas menyebutkan dua fungsi sabar, yaitu untuk meminta (solusi atas berbagai masalah) dan dekat kepada Allah. Dua hal itu tidak dapat dipisahkan dan pada ujungnya tetap dekat kepada Allah SWT.

Sering kali diantara kita bertanya dengan penuh heran; “mengapa orang-orang kafir kok sukses dalam hidupnya? berhasil dalam kehidupan?”, diantara kita ada yang memberi jawaban:”ah itu kan keberhasilan semu, Allah Swt. hanya menguji  atau memanjakan saja dan tidak berarti benar-benar di sayang sama Allah”. Jawaban tersebut lebih pada penyelematan keimanan agar orang tidak jatuh dan tertarik pada keberhasilan orang-orang kafir dan akhirnya mengikuti jalan hidup orang kafir. Tidak ada salahnya jawa-ban itu. Tetapi kurang mengena, tidak fokus pada jawaban mengapa. Ayat yang saya kutip di atas benar-benar menegaskan bahwa kesabaran adalah kunci. Disinilah sisi universal hukum Allah SWT (Sunnatullah) yang tertuang dalam al Qur’an. Siapa sabar ya bisa mengatasi masalah, tidak peduli siapapun dia, agama apapun dia. Jadi, jangan heran ketika, ada orang yang menyembah cuma batu bisa sukses, bisa mengatasi masalah hidupnya. Sebab dia sudah bersabar dalam usaha, bersabar atas mencari solusi, meski dia terantuk batu. Jadi, inilah keadilan Allah yang didasarkan pada hukumnya yang universal. Disinilah penjelasan mengapa maling, koruptor dan sebagainya kok ya bisa berhasil. Mereka melakukan kejahatan dengan ketelitian, kesabaran. Jadi, itupun bisa dilakukan.
Bagi orang-orang beriman perlu diingatkan dengan penegasan Allah bahwa: “Sesungguhnya Allah beserta orang bersabar”. Ada dua bentuk kedekatan dengan Allah dalam ayat tersebut, yaitu Manusia yang mendekati Allah (dengan Sholat) dan Allah SWT yang mendekati manusia (dengan bersabar). ketika manusia bisa bersabar seperti yang diuraikan sebelumnya, yang bersumbu pada Allah SWT, maka pada saat itu Allah SWT menyertai manusia itu. Penegasan itu pula yang pada akhirnya membedakan orang beriman dengan tidak. Seolah-olah Allah berkata, ketika manusia sudah bersabar bisa jadi bukan keberhasilan, tetapi kegagalan. Oleh karena itu, Allah akan tetap menemani manusia tersebut, meski tidak dikabulkan secara langsung. Bagi orang beriman, jawaban itu sungguh luar biasa. Persoalannya, bukan bicara dikabulkan atau tidak, diterima atau tidak permintaannya, tetapi jaminan Allah akan menyertai itu sungguh luar biasa. Jika sholat manusia berusaha keras mendekati Allah, malah ini sebaliknya. Oleh karena itu, kenikmatan didekati itu merupakan anugrah yang luar biasa, sehingga tetap membuat manusia tetap bersabar dan tetap mendamba didampingi Allah Swt. Mana ada kenikmatan yang lebih luar biasa selain itu??? Bahkan dalam kitab-kitab klasik disebutkan kenikmatan pada ujungnya di surga nanti adalah “melihat wajah Allah”. Ketika di dunia ini bisa di dampingi, disertai Allah terus menerus, maka dia sebenarnya sudah mencapai kenikmatan surgawi, tanpa menyentuh surga itu sendiri.
Begitu agungnya bersabar, memang mudah diucap, meski sulit dilakukan, bukan? Tetapi mengapa kita masih enggan untuk berusaha menempuhnya? Apakah ada alasan yang meyakinkan untuk menolak bersabar? Bahkan orang kafir, penjahat, kriminal mengakui keutamaan bersabar. Maling-maling di malam hari, mau bersabar menunggu pemilik rumah untuk tidur; penculik rela berhari-hari mondar-mandir mempelajari lokasi. Mudah mengatakan, tapi sulit mengerjakan, bukan? Allahummaj’alnaa minashoobiriin. Amiin

Farid Waidi SR
Sekretaris MWC NU Wates Kediri

Malu Benteng Moral Manusia

Malu Benteng Moral Manusia





“Sesungguhnya diantara perkataan nubuwah pertama yang diketahui manusia adalah jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu”(H.R Bukhari-Muslim).





Istilah “Malu” tidak asing lagi kedengarannya di telinga kita. Kata “Malu” ini merupakan terjemahan dari Bahasa Arab yaitu Al-Haya'. Secara etemologis berarti menahan diri dari perbuatan tercela atau yang mendatangkan mudlarat kepadanya. Sedangkan, secara terminologis ada beraneka ragam definisi yang dikemukakan para sufi. Ada yang mendifinisikan dengan perubahan dan kekalutan yang menimpa manusia kerena takut tertimpa sesuatu yang tercela atau membawa aib dirinya. Dzunun al-Misri, seorang sufi besar dizamannya, Ia mendifinisikan bahwa Malu adalah munculnya rasa takut kepada Allah disertai rasa sedih atas perbuatan yang dilakukannya. Sementara menurut Abu Ali Ad-Daqaq, Malu adalah meninggalkan tuntutan kepada Allah Swt.

Beraneka ragam definisi tentang istilah Malu. Ini semua menunjukkan betapa luas dimensi yang dicakupnya. Karena itulah, dalam dunia tasawwuf, Malu menjadi salah satu fokus perhatian yang cukup urgen. Dengannya seseorang dapat mengontrol atau menahan diri dari berbuat suatu hal kejelekan.

Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa malu muncul karena adanya kekhawatiran terjerumus ke dalam perbuatan tercela. Oleh karena itu, sikap ini sangat erat kaitannya dengan keimanan seseorang. Jadi, tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa malu merupakan bagian dari iman. Rasululah saw bersabda:
اَلْحَياَءُ وَاْلإِيْمَانُ قُرِنَ جَمِيْعًا، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلأخَرُ (رواه أبو نعيم)

Malu dan iman selalu bergandengan, apabila salah satunya diangkat (dihilangkan) maka yang lain (juga akan) hilang”.

Dalam hadits lain dijelaskan dari riwayat Ibn Umar r.a bahwa: Rasulullah saw pernah melewati seorang laki-laki dari Anshar yang sedang memberi nasihat (mau’idhah) kepada saudaranya tentang malu. Maka beliau bersabda kepada laki-laki tadi, biarkanlah dia, karena sesungguhnya malu adalah sebagian dari iman.(H.R. Bukhari-Muslim).

Ada juga hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Nabi saw bersabda bahwa:
اَلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَاِلهَ إِلاَّاللهُ وَأَدْناَهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ (رواه البخاري ومسلم)
Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama adalah perkataan La Ilaha Illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan (duri) dari jalan. Adapun malu adalah cabang dari iman”.(H.R.Bukhari-Muslim).

 Hadits di atas menunjukkan bahwa malu dan iman merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua belah mata uang logam yang saling melengkapi satu sama lain. Dengan kata lain, keimanan seseorang tidak akan sempurna tanpa didasari dengan malu. Dan sebaliknya, malu tidak akan muncul kecuali dari orang yang beriman.

Mengomentari hadis di atas, al-Raghib menyatakan bahwa malu merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh manusia. Sifat inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Karena dengan sifat ini, seseorang akan mampu menahan diri dari nafsu kebinatangan (al-bahimiyyah). Sehingga ia senantiasa termotivasi untuk berbuat kebajikan serta menghindari semua bentuk kejelekan. Rasulullah Saw bersabda:
اَلْحَياَءُ لاَيَأْتِيْ إِلاَّبِخَيْرٍ (رواه مسلم)                   
Malu tidak akan datang  kecuali dengan (membawa) kebaikan”.

Dalam hadis lain dengan redaksi yang sedikit berbeda Rasulullah Saw bersabda:
اَلْحَياَءُ خَيْرٌ كُلُّهُ (رواه مسلم)
Malu itu baik secara keseluruhan”.

Dua hadis di atas, menunjukkan bahwa malu senantiasa mengantarkan kepada kebaikan. Sebab implikasi minimal sifat malu ini akan menjadikan seseorang enggan berbuat kejelekan. Sebab ia khawatir diklaim sebagai pelaku kejelekan. Sedangkan implikasi maksimalnya adalah akan menjadikan seseorang sungguh-sungguh dalam meninggalkan setiap kejelekan. Dua implikasi ini sama-sama mengandung nilai kebajikan, yaitu mampu menahan diri seseorang melakukan kejelekan dan kezaliman.

Kemudian bagaimanakah gambaran malu yang dapat mengantarkan pada kebaikan? Dalam hal ini, ulama membagi malu sedikitnya ada dua macam. Yaitu, malu syar’i (iktisaby) dan malu ghairu syar’i (gharizy). Malu syar’iy (iktisaby) adalah malu yang dituntut atau dianjurkan oleh syara’. Misalnya, malu dalam berbuat maksiat atau malu meninggalkan perbuatan kebajikan. Sedangkan Malu ghairu syar’iy (gharizy) adalah malu yang semata-mata timbul dari tabi’at kemanusiaan. Malu gharizy ini masih terbagi pada dua macam. Pertama, malu yang mengandung kebaikan seperti, malu mengambil hak orang lain. Kedua, malu yang tidak mengandung kebaikan bahkan dilarang syara’ seperti, malu melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Malu ini (malu gharizy) tidak termasuk kategori hadis di atas. Jadi, yang menjadi fokus pembahasan dari hadits di atas adalah malu syar’iy dan gharizy yang selaras dengan syara’. 

Lalu, apa saja bentuk-bentuk tingkatan (thabaqah) malu dalam dunia tasawwuf ? Dalam hal ini Ibn Qayyim al-Jauziyyah membagi atas tiga thabaqah. Pertama, malu yang muncul karena seorang hamba tahu bahwa Allah melihat dirinya, hingga mendorong seseorang untuk selalu bermujahadah. Ini juga mendorong seseorang untuk mengecam keburukanya, karena malu. Malu ini membuat seseorang urung mengadu dan mengeluh kepada selain Allah.

Kedua, malu yang muncul karena merasakan “kebersamaan” dengan Allah, sehingga dapat menumbuhkan rasa cinta dan tidak akan bergantung pada selain Allah. Kedekatan ini mendorong seseorang untuk mencintai. Selain itu, dengan  kedekatan ini juga dapat membuat hati bergantung dan senantiasa “berhubungan” dengan Allah.

Ketiga, malu yang muncul karena “melepaskan” ruh  dan hati dari makhluk, tidak ada pemisahan dan tidak berhenti mencapai tujuan. Jika ruh dan hati selalu merasakan “kebersamaan” dengan Allah, maka ia akan merasakan kedekatan dan seakan “melihat” Allah secara langsung. Sehingga tidak ada kekhawatiran untuk berpisah dengan Allah dan hati selalu merasakan “kedatangan” Allah Swt.

Melihat gambaran di atas, tampak jelas bahwa malu mempunyai peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena, ia dapat mengerem seseorang dari terjerumus ke jurang kemaksiatan. Selama malu masih tertanam kokoh dalam jiwa seseorang, maka ia akan terhindar dari perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma agama dan masyarakat. Bahkan hal ini akan membawa kepada kebaikan dua dimensi hubungan manusia sekaligus, yakni habl min Allah (hubungan manusia dengan Tuhannya) dan habl min an-Nas (hubungan manusia dengan sesamanya). Dari sinilah seseorang akan termotivasi untuk selalu berbuat yang tebaik bagi diri dan masyarakat sekitarnya.

Ahmad al-Jaziry, dalam bukunya Qutu al-Qulub, menggambarkan peran malu dalam interaksi sosial manusia menjadi beberapa fase. Pertama, manusia berinteraksi sosial dengan nilai-nilai agama. Lama kelamaan menipislah rasa keberagamaan manusia. Kedua, manusia berinteraksi sosial atas dasar kepercayaan, tapi kercayaan itu juga semakin sirna. Ketiga, manusia berinteraksi sosial dengan berdasarkan harga diri (muruah). Ternyata muruah juga tidak bertahan lama. Keempat manusia berinteraksi sosial dengan sikap malu. Karena malu lenyap, maka manusia berinteraksi sosial semata-mata atas dasar suka sama suka, sama sekali tidak mengindahkan nilai-nilai agama.
Oleh karena itu, kita semua patut ber-muhasabah al-nafs atau introspeksi diri seraya menanyakan pada diri masing-masing, masih tersisakah sifat malu dalam jiwa ini? Jika kita benar-benar yakin bahwa sifat malu masih ada, semestinya kita malu berbuat KKN, yang merupakan penyakit terparah di negari kita. Malu bertindak amoral, asusila, anarkis, kriminalitas dan diskriminatif antar sesama anak bangsa. Malu melakukan penggusuran dengan mengatasnamakan penataan kota. Atau mungkin kita tidak kenal –untuk mengatakan tidak punya– sifat malu?. Na’uzubillahi min zalik.

Farid Waidi SR
Sekretaris MWC NU Wates Kediri