Selasa, 03 Oktober 2017

Konsep Negara Menurut NU

Konsep Negara Menurut NU

NU menempatkan negara sebagai alat bagi pencapaian tujuan Islam. Maka, karena tujuan Islam adalah rahmatan lil ‘alamin (kesejahteraan bagi semesta), negara yang mengarah ke tujuan tersebut bisa diterima, meskipun tidak berbentuk Islam.
Pada tanggal 4-8 Juni, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) diundang oleh para ulama Afghanistan dan Noor Educational and Capacity Development Organization (NECDO) untuk menghadiri workshop “Peran Ulama dalam Pembangunan dan Rekonstruksi Afghanistan” di Afghanistan.
PBNU, yang diwakili empat delegasi, berbicara di hadapan para ulama dan ilmuwan dari 12 provinsi tentang pentingnya perdamaian serta rekonsiliasi.
Dalam kesempatan itu, NU diminta berbagi pengalaman tentang peran ulama di Indonesia dalam menciptakan keharmonisan umat beragama beserta manajemen konflik di dalamnya.
Yang menarik dalam pertemuan itu adalah potensi NU sebagai model Islam di dunia, sebab ia menjadi “cermin”, khususnya bagi Afghanistan, dalam rangka hubungan Islam dengan kemodernan. Hubungan yang berhasil dijaga NU secara harmonis ini telah meminimalisir konflik, baik konflik antar-umat beragama maupun antara Islam dan Barat. Dengan demikian, NU bisa menjadi model bagi hubungan Islam dan kemodernan yang melahirkan hubungan harmonis antar-umat beragama.
Model yang dibangun NU itu merujuk pada integrasi Islam ke dalam perjuangan nasional melalui demokratisasi dalam jangka panjang. Dalam kaitan ini, terdapat dua proses signifikan. Pertama, integrasi Islam ke dalam nasionalisme. Kedua, partisipasi Islam dalam demokratisasi.
Kita akan membahas poin pertama dulu, yakni integrasi Islam ke dalam nasionalisme.
Yang dimaksud poin ini adalah penyatuan visi Islam tentang kehidupan ke dalam tujuan utama pendirian negara-bangsa. Hal ini berangkat dari kaidah al-ghayah wa al-wasail (tujuan dan metode), yang NU menempatkan negara sebagai alat bagi pencapaian tujuan Islam. Maka, karena tujuan Islam adalah rahmatan lil ‘alamin (kesejahteraan bagi semesta), negara yang mengarah ke tujuan tersebut bisa diterima, meskipun tidak berbentuk Islam. Oleh karena itu, NKRI, yang memuat “keadilan sosial” sebagai tujuan konstitusional bernegara, diterima oleh NU, meskipun ia bukan negara Islam yang formal.
Pada ranah historis, proses integrasi ini terjadi melalui beberapa tahap. Pertama, pengakuan wilayah Nusantara sebagai wilayah Islam (dar al-Islam). Hal ini dilakukan pada Muktamar ke-11 (1936), yang para ulama NU menetapkan Nusantara sebagai dar al-Islam. Menariknya, istilah dar al-Islam ini tidak dimaknai sebagai “negara Islam”, melainkan “wilayah Islam”, sebab di dalamnya umat Islam bebas melaksanakan syari’at. Dengan cara ini, NU telah membentuk “kebangsaan Islam” (Islamic nationalism) sebab dar al-Islam tersebut dipahami sebagai bangsa. Artinya, ketika Nusantara diakui sebagai dar al-Islam, wilayah ini telah dipahami sebagai bangsa muslim Indonesia.
Kedua, penerimaan atas negara-bangsa (NKRI), bukan negara Islam pada pembentukan konstitusi 1945. Wakil NU di sidang PPKI, yakni Kiai Wahid Hasyim, Kiai Masykur, dan Zainul Arifin, telah menyepakati bangunan NKRI dalam kerangka perawatan kemajemukan bangsa. Pada titik ini, NU telah menepis ego-kelompok, demi terjaganya masyarakat bangsa yang majemuk.
Ketiga, penetapan pemerintah RI sebagai pemimpin darurat yang memiliki wewenang menerapkan syari’at (waliy al-amri al-dlaruri bi al-syaukah). Kesepakatan ulama pada Munas Alim Ulama (1954) ini ditetapkan agar syari’at Islam bisa ditegakkan, karena pemerintahan sah secara syar’i. Dari sini terlihat bahwa politik kebangsaan NU tidak bersifat sekuler, karena ia bermuara pada syari’at Islam, baik melalui penerapan partikel hukumnya di dalam hukum nasional, maupun pengamalan sebagai etika sosial.
Keempat, penerimaan Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini ditetapkan pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo (1983), Pancasila diterima sebagai dasar negara sedangkan Islam tetap dijaga sebagai aqidah. Antara aqidah beragama dan dasar bernegara tidak dibenturkan, sebab Pancasilam yang memuat sila ketuhanan, merupakan bentuk pengamalan syari’at Islam.
Melalui proses integrasi Islam ke dalam nasionalisme ini, NU telah melerai ketegangan antara Islam sebagai “ideologi universal” dan Pancasila sebagai “ideologi nasional”, serta antara Islam sebagai “paham theokratis” dan NKRI sebagai “bangunan negara-bangsa”. Sebuah pola hubungan yang hingga saat ini masih menyediakan ketegangan bagi sebagian besar negara Islam di Timur Tengah, karena mereka belum mencapai hubungan harmonis antara Islam dan kemodernan.
Dalam kaitan ini, penerimaan NU atas NKRI digerakkan melalui demokratisasi dalam jangka panjang. Hal ini terjadi karena NU memahami nasionalisme tidak dalam kerangka identitas dan wilayah, melainkan kerakyatan. Hal ini terkait dengan pandangan terhadap kekuasaan yang terkait langsung dengan kemaslahatan rakyat (tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah). Melalui pandangan ini, demokrasi yang diperjuangkan bukan demokrasi prosedural, melainkan demokratisasi, baik dalam rangka pemenuhan hak sipil-politik maupun hak sosial-ekonomi.
Dari paparan di atas terlihat bahwa NU telah membangun model Islam yang selaras dengan kemodernan, nasionalisme dan demokrasi. Menariknya, NU melakukan ini melalui khazanah tradisi Islam. Tradisi yang kemudian menjadi metodologi ini misalnya terdapat pada legal maxim (qawa’id al-fiqhiyah), legal theory (ushul fiqh), dan legal philosophy (hikmah al-tasyri’).
Legal maxim menyediakan kaidah praktis yang bertujuan menyelaraskan ketaatan normatif dengan keluwesan menghadapi realitas. Misalnya, kaidah Ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu (Apa yang tidak bisa dicapai semuanya jangan ditinggal prinsip dasarnya). Kaidah ini membuat NU tidak menolak NKRI, sebab terdapat prinsip-prinsip Islam di dalamnya, meliputi syura (musyawarah), ‘adalah (keadilan), dan musawah (persamaan).
Sementara itu legal theory menyediakan metode penerapan syari’at dengan mengakomodir perkembangan zaman. Adapun legal philosophy menjadi jembatan antara hukum Islam dan ilmu pengetahuan.
Dengan metode tradisional yang bernuansa modern ini, NU bisa menghadapkan Islam dengan tantangan zaman secara setara. Dampaknya, ia tidak terjebak di dalam asumsi Barat sebagai ancaman dengan posisi “Islam terancam” selayak pemahaman kalangan fundamentalistis. NU dengan tradisinya telah menempatkan Islam sebagai kebijaksanaan hidup yang menyempurnakan sistem kehidupan yang ada. Oleh karenanya, dalam kaitan dengan pembangunan, peran Islam tidak sebatas suplementer (tambahan), melainkan komplementer (penyempurna), dengan ikut menentukan arah ideal pembangunan.
Kesadaran dunia Islam seperti Afghanistan untuk bercermin dari NU membuktikan bahwa jam’iyyah ini memiliki potensi besar. Tidak hanya dalam kehidupan berbangsa, melainkan terlebih kehidupan global. Tak mengherankan jika pemikir muslim asal Mesir, Hassan Hanafi, melihat potensi “Islam Indonesia” sebagai pemimpin dunia Islam. Pandangan ini disampaikan oleh Hanafi kepada K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjabat presiden ke-4 RI. Tentu yang dimaksud Hassan Hanafi tersebut adalah NU.
Siraman Air yang Menyejukkan
Di tengah gencarnya usaha atau minimal suara agar Indonesia menjadi negara Islam, yang besar kemungkinan akan sedikit memanaskan situasi, apa yang dipaparkan NU, dalam hal ini As’ad Said Ali, wakil ketua umum PBNU, itu benar-benar bagai siraman air yang menyejukkan.
Di negara kita, kondisi umat beragamanya adalah majemuk. Ada yang menganut Islam, Hindu, Buddha, dan sebagainya. Lalu, kalau dasar negara kita adalah Islam, misalnya, apakah para penganut agama yang lain setuju. Saya kira tidak. Dalam sebuah diskusi pada acara Indonesia Lawyers Club di TvOne beberapa waktu lalu, seorang romo Katholik menyebutkan, yang intinya kurang lebih, nilai kebangsaan kita sebagaimana yang dipesankan Bung Karno telah luntur. Kita lebih mementingkan ego suku, agama, dan seterusnya, daripada ikatan kebangsaan.
Itulah sebabnya, pilihan politik bangsa ini ihwal dasar negara adalah Pancasila, bukan agama. Bukankah ini adalah pilihan yang adil bagi semua penganut agama?
Untuk NU, saya sungguh salut pada pandangan-pandangannya. Saya berkeyakinan, pandangan-pandangan NU akan semakin go international. Insya Allah, kelak bukan hanya para ulama Afghanistan yang akan meng-NU-kan umat Islam-nya. Ulama-ulama negara-negara lain, yang sadar bahwa pandangan-pandangan NU sangat bermanfaat bagi tercapainya perdamaian dunia, pun akan mengikuti ulama-ulama Afghanistan itu. Amin….
sumber: Santridayah.com

SHARE THIS

0 komentar: