Jumat, 25 Agustus 2017

Malu Benteng Moral Manusia





“Sesungguhnya diantara perkataan nubuwah pertama yang diketahui manusia adalah jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu”(H.R Bukhari-Muslim).





Istilah “Malu” tidak asing lagi kedengarannya di telinga kita. Kata “Malu” ini merupakan terjemahan dari Bahasa Arab yaitu Al-Haya'. Secara etemologis berarti menahan diri dari perbuatan tercela atau yang mendatangkan mudlarat kepadanya. Sedangkan, secara terminologis ada beraneka ragam definisi yang dikemukakan para sufi. Ada yang mendifinisikan dengan perubahan dan kekalutan yang menimpa manusia kerena takut tertimpa sesuatu yang tercela atau membawa aib dirinya. Dzunun al-Misri, seorang sufi besar dizamannya, Ia mendifinisikan bahwa Malu adalah munculnya rasa takut kepada Allah disertai rasa sedih atas perbuatan yang dilakukannya. Sementara menurut Abu Ali Ad-Daqaq, Malu adalah meninggalkan tuntutan kepada Allah Swt.

Beraneka ragam definisi tentang istilah Malu. Ini semua menunjukkan betapa luas dimensi yang dicakupnya. Karena itulah, dalam dunia tasawwuf, Malu menjadi salah satu fokus perhatian yang cukup urgen. Dengannya seseorang dapat mengontrol atau menahan diri dari berbuat suatu hal kejelekan.

Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa malu muncul karena adanya kekhawatiran terjerumus ke dalam perbuatan tercela. Oleh karena itu, sikap ini sangat erat kaitannya dengan keimanan seseorang. Jadi, tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa malu merupakan bagian dari iman. Rasululah saw bersabda:
اَلْحَياَءُ وَاْلإِيْمَانُ قُرِنَ جَمِيْعًا، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلأخَرُ (رواه أبو نعيم)

Malu dan iman selalu bergandengan, apabila salah satunya diangkat (dihilangkan) maka yang lain (juga akan) hilang”.

Dalam hadits lain dijelaskan dari riwayat Ibn Umar r.a bahwa: Rasulullah saw pernah melewati seorang laki-laki dari Anshar yang sedang memberi nasihat (mau’idhah) kepada saudaranya tentang malu. Maka beliau bersabda kepada laki-laki tadi, biarkanlah dia, karena sesungguhnya malu adalah sebagian dari iman.(H.R. Bukhari-Muslim).

Ada juga hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Nabi saw bersabda bahwa:
اَلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَاِلهَ إِلاَّاللهُ وَأَدْناَهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ (رواه البخاري ومسلم)
Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama adalah perkataan La Ilaha Illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan (duri) dari jalan. Adapun malu adalah cabang dari iman”.(H.R.Bukhari-Muslim).

 Hadits di atas menunjukkan bahwa malu dan iman merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua belah mata uang logam yang saling melengkapi satu sama lain. Dengan kata lain, keimanan seseorang tidak akan sempurna tanpa didasari dengan malu. Dan sebaliknya, malu tidak akan muncul kecuali dari orang yang beriman.

Mengomentari hadis di atas, al-Raghib menyatakan bahwa malu merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh manusia. Sifat inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Karena dengan sifat ini, seseorang akan mampu menahan diri dari nafsu kebinatangan (al-bahimiyyah). Sehingga ia senantiasa termotivasi untuk berbuat kebajikan serta menghindari semua bentuk kejelekan. Rasulullah Saw bersabda:
اَلْحَياَءُ لاَيَأْتِيْ إِلاَّبِخَيْرٍ (رواه مسلم)                   
Malu tidak akan datang  kecuali dengan (membawa) kebaikan”.

Dalam hadis lain dengan redaksi yang sedikit berbeda Rasulullah Saw bersabda:
اَلْحَياَءُ خَيْرٌ كُلُّهُ (رواه مسلم)
Malu itu baik secara keseluruhan”.

Dua hadis di atas, menunjukkan bahwa malu senantiasa mengantarkan kepada kebaikan. Sebab implikasi minimal sifat malu ini akan menjadikan seseorang enggan berbuat kejelekan. Sebab ia khawatir diklaim sebagai pelaku kejelekan. Sedangkan implikasi maksimalnya adalah akan menjadikan seseorang sungguh-sungguh dalam meninggalkan setiap kejelekan. Dua implikasi ini sama-sama mengandung nilai kebajikan, yaitu mampu menahan diri seseorang melakukan kejelekan dan kezaliman.

Kemudian bagaimanakah gambaran malu yang dapat mengantarkan pada kebaikan? Dalam hal ini, ulama membagi malu sedikitnya ada dua macam. Yaitu, malu syar’i (iktisaby) dan malu ghairu syar’i (gharizy). Malu syar’iy (iktisaby) adalah malu yang dituntut atau dianjurkan oleh syara’. Misalnya, malu dalam berbuat maksiat atau malu meninggalkan perbuatan kebajikan. Sedangkan Malu ghairu syar’iy (gharizy) adalah malu yang semata-mata timbul dari tabi’at kemanusiaan. Malu gharizy ini masih terbagi pada dua macam. Pertama, malu yang mengandung kebaikan seperti, malu mengambil hak orang lain. Kedua, malu yang tidak mengandung kebaikan bahkan dilarang syara’ seperti, malu melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Malu ini (malu gharizy) tidak termasuk kategori hadis di atas. Jadi, yang menjadi fokus pembahasan dari hadits di atas adalah malu syar’iy dan gharizy yang selaras dengan syara’. 

Lalu, apa saja bentuk-bentuk tingkatan (thabaqah) malu dalam dunia tasawwuf ? Dalam hal ini Ibn Qayyim al-Jauziyyah membagi atas tiga thabaqah. Pertama, malu yang muncul karena seorang hamba tahu bahwa Allah melihat dirinya, hingga mendorong seseorang untuk selalu bermujahadah. Ini juga mendorong seseorang untuk mengecam keburukanya, karena malu. Malu ini membuat seseorang urung mengadu dan mengeluh kepada selain Allah.

Kedua, malu yang muncul karena merasakan “kebersamaan” dengan Allah, sehingga dapat menumbuhkan rasa cinta dan tidak akan bergantung pada selain Allah. Kedekatan ini mendorong seseorang untuk mencintai. Selain itu, dengan  kedekatan ini juga dapat membuat hati bergantung dan senantiasa “berhubungan” dengan Allah.

Ketiga, malu yang muncul karena “melepaskan” ruh  dan hati dari makhluk, tidak ada pemisahan dan tidak berhenti mencapai tujuan. Jika ruh dan hati selalu merasakan “kebersamaan” dengan Allah, maka ia akan merasakan kedekatan dan seakan “melihat” Allah secara langsung. Sehingga tidak ada kekhawatiran untuk berpisah dengan Allah dan hati selalu merasakan “kedatangan” Allah Swt.

Melihat gambaran di atas, tampak jelas bahwa malu mempunyai peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena, ia dapat mengerem seseorang dari terjerumus ke jurang kemaksiatan. Selama malu masih tertanam kokoh dalam jiwa seseorang, maka ia akan terhindar dari perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma agama dan masyarakat. Bahkan hal ini akan membawa kepada kebaikan dua dimensi hubungan manusia sekaligus, yakni habl min Allah (hubungan manusia dengan Tuhannya) dan habl min an-Nas (hubungan manusia dengan sesamanya). Dari sinilah seseorang akan termotivasi untuk selalu berbuat yang tebaik bagi diri dan masyarakat sekitarnya.

Ahmad al-Jaziry, dalam bukunya Qutu al-Qulub, menggambarkan peran malu dalam interaksi sosial manusia menjadi beberapa fase. Pertama, manusia berinteraksi sosial dengan nilai-nilai agama. Lama kelamaan menipislah rasa keberagamaan manusia. Kedua, manusia berinteraksi sosial atas dasar kepercayaan, tapi kercayaan itu juga semakin sirna. Ketiga, manusia berinteraksi sosial dengan berdasarkan harga diri (muruah). Ternyata muruah juga tidak bertahan lama. Keempat manusia berinteraksi sosial dengan sikap malu. Karena malu lenyap, maka manusia berinteraksi sosial semata-mata atas dasar suka sama suka, sama sekali tidak mengindahkan nilai-nilai agama.
Oleh karena itu, kita semua patut ber-muhasabah al-nafs atau introspeksi diri seraya menanyakan pada diri masing-masing, masih tersisakah sifat malu dalam jiwa ini? Jika kita benar-benar yakin bahwa sifat malu masih ada, semestinya kita malu berbuat KKN, yang merupakan penyakit terparah di negari kita. Malu bertindak amoral, asusila, anarkis, kriminalitas dan diskriminatif antar sesama anak bangsa. Malu melakukan penggusuran dengan mengatasnamakan penataan kota. Atau mungkin kita tidak kenal –untuk mengatakan tidak punya– sifat malu?. Na’uzubillahi min zalik.

Farid Waidi SR
Sekretaris MWC NU Wates Kediri

SHARE THIS

0 komentar: