Jumat, 16 Maret 2018

Khashaish Ahlus Sunnah Wal Jamaah Al-Nahdhiyah

Khashaish Ahlus Sunnah Wal Jamaah Al-Nahdhiyah


Forum Muktamar Ke-33 NU di Jombang pada awal Agustus 2015 lalu memasukkan isu Khashaish Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyyah pada sidang komisi bahtsul masail diniyah maudhu’iyyah. Isu ini dibahas di masjid utama pesantren Tambakberas Jombang ini. Komisi yang dikepalai oleh KH Afifuddin Muhajir ini menghasilkan rumusan sebagai berikut.
Khashaish Ahlus Sunnah Wal Jamaah Al-Nahdhiyah


خصائص اهل السنة والجماعة النهضية
Islam sebagai agama samawi terakhir memiliki banyak ciri khas (khashaish) yang membedakannya dari agama lain. Ciri khas Islam yang paling menonjol adalah tawassuth,ta’adul, dan tawazun. Ini adalah beberapa ungkapan yang memiliki arti yang sangat berdekatan atau bahkan sama. Oleh karena itu, tiga ungkapan tersebut bisa disatukan menjadi “wasathiyah”. Watak wasathiyah Islam ini dinyatakan sendiri oleh Allah SWT di dalam Alqur’an,
 وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا [البقرة : 143 [
“Dan demikian(pula) kami menjadikan kamu (Umat Islam), umat penengah (adil dan pilihan), agar kamu menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kamu.” (QS. al-Baqarah;143)
Nabi Muhammad SAW sendiri menafsirkan kata وَسَطًا dalam firman Allah di atas dengan adil, yang berarti fair dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Perubahan fatwa karena perubahan situasi dan kondisi, dan perbedaan penetapan hukum karena perbedaan kondisi dan psikologi seseorang adalah adil.
Selain ayat di atas, ada beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan watak wasathiyah dalam Islammisalnya firman Allah:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا [الإسراء:29
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. al-Isra’: 29)
Dalam firman-Nya yang lain,
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا [الإسراء:110
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. al-Isra’: 110)
Sementara dalam hadits dikatakan,
خَيْرُ اْلأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا
“Sebaik-baik persoalan adalah sikap-sikap moderat.”
Mirip dengan hadits di atas adalah riwayat,
 وَخَيْرُ اْلأَعْمَالِ أَوْسَطُهَا وَدِيْنُ اللهِ بَيْنَ الْقَاسِىْ وَالْغَالِىْ
 “Dan sebaik-baik amal perbuatan adalah yang pertengahan, dan agama Allah itu berada di antara yang beku dan yang mendidih.”
 Wasathiyyah yang sering diterjemahkan dengan moderasi itu memiliki beberapa pengertian sebagai berikut: Pertama, keadilan di antara dua kezhaliman (عدل بين ظلمين) atau kebenaran di antara dua kebatilan (حق بين باطلين), seperti wasathiyah antara atheisme dan poletheisme. Islam ada di antara atheisme yang mengingkari adanya Tuhan dan poletheisme yang memercayai adanya banyak Tuhan. Artinya, Islam tidak mengambil faham atheisme dan tidak pula fahampoletheisme, melainkan faham monotheisme, yakni faham yang memercayai Tuhan Yang Esa. Begitu juga wasathiyyah antara boros dan kikir yang menunjuk pada pengertian tidak boros dan tidak kikir. Artinya, Islam mengajarkan agar seseorang di dalam memberi nafkah tidak kikir dan tidak pula boros, melainkan ada di antara keduanya, yaitu al-karam dan al-jud. Allah berfirman;
 وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا ) الفرقان: 67(
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. al-Furqan: 67)
Kedua, pemaduan antara dua hal yang berbeda/berlawanan. Misalnya,
(a). wasathiyyah antara ruhani dan jasmani yang berarti bahwa Islam bukan hanya memperhatikan aspek ruhani saja atau jasmanai saja, melainkan memperhatikan keduanya. Wasathiyyah antara nushûs danmaqâshid. Itu berarti Islam tak hanya fokus pada nushûs saja atau maqâshid saja, melainkan memadukan antara keduanya.
(b). Islam pun merupakan agama yang menyeimbangkan antara`aql dan naql. Bagi Islam, akal dan wahyu merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan penting yang sifatnya komplementer (saling mendukung antara satu sama lain). Kalau diibaratkan dengan pengadilan, akal berfungsi sebagai syahid (saksi) sementara wahyu sebagai hakim, atau sebaliknya, yakni akal sebagai hakim sementara wahyu sebagai syahid. 
(c). Islam menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat, antara ilmu dan amal, antara ushul dan furu’, antara sarana (wasilah) dan tujuan (ghayah), antara optimis dan pesimis, dan seterusnya.
Ketiga, realistis (wâqi’iyyah). Islam adalah agama yang realistis, tidak selalu idealistis. Islam mempunyai cita-cita tinggi dan semangat yang menggelora untuk mengaplikasikan ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukumnya, tapi Islam tidak menutup mata dari realitas kehidupan yang–justru–lebih banyak diwarnai hal-hal yang sangat tidak ideal. Untuk itu, Islam turun ke bumi realitas daripada terus menggantung di langit idealitas yang hampa. Ini tidak berarti bahwa Islam menyerah pada pada realitas yang terjadi, melainkan justru memperhatikan realitas sambil tetap berusaha untuk tercapainya idealitas. Contoh wasathiyyah dalam arti waqi’iyyah ini adalah pemberlakuan hukum ‘azîmah dalam kondisi normal dan hukum rukhshah dalam kondisidharurat atau hajat.
Watak wasathiyyah dalam Islam Ahlussunnah wal Jama’ah tercermin dalam semua aspek ajarannya, yaitu akidah, syariah, dan akhlaq/tasawwuf serta dalam manhaj. Dalam jam’iyyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari golongan Ahlussunnah wal Jama’ah, watak wasathiyyahtersebut antara lain terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
1.        Melandaskan ajaran Islam kepada al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber pokok dan juga kepada sumber-sumber sekunder yang mengacu kepada al-Qur’an dan al-Sunnah seperti ijma’ dan qiyas.
2.        Menjadikan ijtihad sebagai otoritas dan aktifitas khusus bagi orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang tidak mudah untuk dipenuhi. Sedangkan bagi yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad tidak ada jalan lain kecuali harus bermazhab dengan mengikuti salah satu dari mazhab-mazhab yang diyakini penisbatannya kepada ashabu al-madzahib. Namun, Nahdlatul Ulama membuka ruang untuk bermadzhab secara manhajidalam persoalan-persoalan yang tidak mungkin dipecahkan dengan bermadzhab secaraqauli. Pola bermadzhab dalam NU berlaku dalam semua aspek ajaran Islam; aqidah, syariah/fiqh, dan akhlaq/tasawwuf, seperti dalam rincian berikut:
a.       Di bidang syariah/fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti salah satu dari madzhab empat, yaitu madzhab Imam Abu Hanifah, Madzhab Imam Malik ibn Anas, madzhab Imam Muhammad bin Idris as-Syafii dan madzhab Imam Ahmad bin Hanbal.
b.      Di bidang aqidah mengikuti madzhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan madzhab Imam Abu Manshur al-Maturidi.
c.       Di bidang akhlaq/tasawwuf mengikuti madzhab Imam al-Junaid al-Baghdadi dan madzhab Imam Abu Hamid al-Ghazali.
3.        Berpegang teguh pada petunjuk al-Qur’an di dalam melakukan dakwah dan amar makruf nahi mungkar, yaitu dakwah dengan hikmah/kearifan, mau’izhah hasanah, dan mujadalah bil husna.
4.        Sebagai salah satu wujud dari watak wasathiyyah dengan pengertian al-waqi’iyyah(realistis), Nahdlatul Ulama menghukumi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dengan Pancasila sebagai dasarnya sebagai sebuah negara yang sah menurut pandangan Islam dan tetap berusaha secara terus menerus melakukan perbaikan sehingga menjadi negara adil makmur berketuhanan Yang Maha Esa.
5.        Mengakui keutamaan dan keadilan para shahabat Nabi, mencintai dan menghormati mereka serta menolak dengan keras segala bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap mereka apalagi menuduh mereka
6.        Tidak menganggap siapapun setelah Nabi Muhammad saw sebagai pribadi yang ma’shum(terjaga dari kesalahan dan dosa).
7.        Perbedaan yang terjadi di kalangan kaum muslimin merupakan salah satu dari fitrah kemanusiaan. Karena itu, menghormati perbedaan pendapat dalam masa`il furu`iyyah-ijtihadiyah adalah keharusan. Nahdhatul Ulama tak perlu melakukan klaim kebenaran dalam masalah ijtihadiyyah tersebut.
8.        Menghindari hal-hal yang menimbulkan permusuhan seperti tuduhan kafir kepada sesama muslim, ahlu al-qiblah.
9.        Menjaga ukhuwwah imaniyyah-islamiyyah di kalangan kaum muslimin dan ukhuwwah wathaniyyah terhadap para pemeluk agama-agama lain. Dalam konteks NU, menjagaukhuwwah nahdhiyah adalah niscaya terutama untuk menjaga persatuan dan kekompakan seluruh warga NU.
10.    Menjaga keseimbangan antara aspek ruhani dan jasmani dengan mengembangkan tasawwuf `amali, majelis-majelis dzikir dan shalawat sebagai sarana taqarrub il Allah di samping mendorong umat Islam agar melakukan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.

Editor: KH. Afifuddin Muhajir (Dosen Ma’had Aly PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo
—————————————–
Dasar Penetapan :
1. Al-Qur’an
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ. وَلاَ تَتَّبِعُوْا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ. ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ﴾ الأنعام: 153
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا﴾ الحشر 7
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ﴾ الأحزاب 21
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيراً) النساء: 115)
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا﴾ البقرة: 143
قُلْ يَآ أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ) المائدة: 77(
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ) القصص: 50(
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ﴾ البقرة: 208
﴿يَآأَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُوا عَلَى اللهِ إِلاَّ الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآمِنُوا بِاللهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُوا ثَلاَثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ إِنَّمَا اللهُ إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ وَكَفَى بِاللهِ وَكِيلاً) النساء: 171(
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ ) آل عمران: 103(
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ) البقرة: 256(
﴿ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ﴾ النحل: 125
﴿إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ﴾ الحجرات: 10
لاَ يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ) المنتحنة: 8(
 2. As-Sunnah
 عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلاَنِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ، وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً) قَالُوا: “وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ؟” قَالَ: (مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي). رواه الترمذي
عَنْ الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ: صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا، فَقَالَ: (أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ). رواه أبو داود
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَهَلَكَتْ سَبْعُونَ فِرْقَةً وَخَلَصَتْ فِرْقَةٌ وَاحِدَةٌ وَإِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَتَهْلِكُ إِحْدَى وَسَبْعِينَ وَتَخْلُصُ فِرْقَةٌ) قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ مَنْ تِلْكَ الْفِرْقَةُ؟ قَالَ: (الْجَمَاعَةُ الْجَمَاعَةُ). رواه أحمد
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ افْتَرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ). رواه ابن ماجه
عن قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَهَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ، قَالَا: حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ يَزِيدَ، عَنْ عَبِيدَةَ السَّلْمَانِيِّ، عَنْ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (خَيْرُ أُمَّتِي الْقَرْنُ الَّذِينَ يَلُونِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ يَجِيءُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ» لَمْ يَذْكُرْ هَنَّادٌ الْقَرْنَ فِي حَدِيثِهِ، وقَالَ قُتَيْبَةُ: ثُمَّ يَجِيءُ أَقْوَامٌ). متفق عليه
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الأَئِمَّةَ المُضِلِّينَ)، قَالَ: وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الحَقِّ ظَاهِرِينَ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ يَخْذُلُهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ). رواه الترمذي
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: (لاَ يَجْمَعُ اللَّهُ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ أَبَدًا، وَيَدُ اللَّهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ هَكَذَا، فَاتَّبِعُوا السَّوَادَ الأَعْظَمَ، فَإِنَّهُ مَنْ شَذَّ شَذَّ فِي النَّارِ». رواه الحاكم
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ الْعَقَبَةِ وَهُوَ عَلَى نَاقَتِهِ الْقُطْ لِي حَصًى فَلَقَطْتُ لَهُ سَبْعَ حَصَيَاتٍ هُنَّ حَصَى الْخَذْفِ فَجَعَلَ يَنْفُضُهُنَّ فِي كَفِّهِ وَيَقُولُ أَمْثَالَ هؤُلاَءِ (فَارْمُوا) ثُمَّ قَالَ: (يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ). رواه النسائي وابن ماجه وأحمد.
عن مالك بن أنس رضي الله عنه: (الصَّحَابَةُ كُلُّهُم عُدُولٌ). رواه البيهقي.
عن عمر ابن الخطاب، قَالَ: (أَصْحَابِي كَالنُّجُومِ بِأَيِّهِمُ اقْتَدَيْتُمُ اهْتَدَيْتُمْ). رواه رزين.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي، لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلاَ نَصِيفَهُ). متفق عليه.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ ِلأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا). منفق عليه
  3. Aqwal al-Ulama
 كشف الخفاء و مزيل الإلباس، الجزء الأول، صـ 177 – 446
)افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة فواحدة في الجنة وسبعون في النار وافترقت النصارى على اثنتين وسبعين فرقة فإحدى وسبعون في النار وواحدة في الجنة والذي نفس محمد بيده لتفترقن أمتي على ثلاث وسبعين فواحدة في الجنة واثنتان وسبعون في النار) رواه ابن أبي الدنيا عن عوف بن مالك ، أبو داود والترمذي والحاكم وابن حبان وصححوه عن أبي هريرة بلفظ افترقت اليهود على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة والنصارى كذلك وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة كلهم في النار إلا واحدة قالوا من هي يا رسول الله قال ما أنا عليه وأصحابي
التبصير في الدين – (ج 1 / ص 182-185)
وأعلم أن جميع ما ذكرناه من اعتقاد أهل السنة والجماعة فلا خلاف في شيء منه بين الشافعي وأبي حنيفة رحمهما الله وجميع أهل الرأي والحديث مثل مالك والأوزاعي وداود والزهري والليث بن سعد وأحمد بن حنبل … الفصل الثاني من هذا الباب في طريق تحقيق النجاة لأهل السنة والجماعة في العاقبة أعلم أن الذي تحقق لهم هذه الصفة أمور منها قوله تعالى قل أن كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله ويغفر لكم ذنوبكم والله غفور رحيم والمحبة من الله تعالى في متابعة الرسول سبب محبة الرب للعبد فكل من كان متابعتة للرسول أبلغ وأتم كانت المحبة له من الله أكمل وأتم وليس في فرق الأمة أكثر متابعة لأخبار الرسول وأكثر تبعا لسنته من هؤلاء ولهذا سموا أصحاب الحديث وسموا بأهل السنة والجماعة
التبصير في الدين – (ج 1 / ص 185)
ومنها أن النبي لما سئل عن الفرقة الناجية قال ما انا عليه وأصحابي وهذه الصفة تقررت لأهل السنة لأنهم ينقلون الأخبار والآثار عن الرسول والصحابة رضي الله عنهم ولا يدخل في تلك الجملة من يطعن في الصحابة من الخوارج والروافض ولا من قال من القدرية إن شهادة اثنين من أهل صفين غير مقبولة على باقة بقل ومن ردهم وطعن فيهم لا يكون متابعا لهم ولا ملابسا بسيرتهم
التبصير في الدين – (ج 1 / ص 186)
ومنها أنهم يستعملون في الأدلة الشرعية كتاب الله وسنة رسوله وأجماع الأمة والقياس ويجمعون بين جميعها في فروع الشريعة ويحتجون بجميعها وما من فريق من فرق مخالفيهم إلا وهم يردون شيئا من هذه الأدلة فبان أنهم أهل النجاة باستعمالهم جميع أصول الشريعة دون تعطيل شيء منها
التبصير في الدين – (ج 1 / ص 186)
ومنها أن أهل السنة مجتمعون فيما بينهم لا يكفر بعضهم بعضا وليس بينهم خلاف يوجب التبريء والتفكير فهم إذا أهل الجماعة قائمون بالحق والله تعالى يحفظ الحق وأهله كما قال تعالى إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون قال المفسرون أراد به الحفظ عن التناقض وما من فريق من فرق المخالفين إلا وفيما بينهم تكفير وتبري يكفر بعضهم بعضا كما ذكرنا من الخوارج والروافض والقدرية حتى اجتمع سبعة منهم في مجلس واحد فافترقوا عن تكفير بعضهم بعضا وكانوا بمنزلة اليهود والنصارى حين كفر بعضهم بعضا حتى قالت اليهود ليست النصارى على شيء وقالت النصارى ليست اليهود على شيء وقال الله سبحانه وتعالى ولو كان من عند غير الله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا
الاقتصاد في الاعتقاد – (ج 1 / ص 81
والذي ينبغي أن يميل المحصل إليه الاحتراز من التكفير ما وجد إليه سبيلاً. فإن استباحة الدماء والأموال من المصلين إلى القبلة المصرحين بقول لا إله إلا الله محمد رسول الله خطأ، والخطأ في ترك ألف كافر في الحياة أهون من الخطأ في سفك محجمة من دم مسلم. وقد قال صلى الله عليه وسلم: أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله محمد رسول الله، فإذا قالوها فقد عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحقها.
بغية المسترشدين – (ج 1 / ص 641)
مسألة : ي) : من القواعد المجمع عليها عند أهل السنة أن من نطق بالشهادتين حكم بإسلامه وعصم دمه وماله ، ولم يكشف حاله ، ولا يسأل عن معنى ما تلفظ به. ومنها أن الإيمان المنجي من الخلود في النار التصديق بالوحدانية والرسالة ، فمن مات معتقداً ذلك ولم يدر غيره من تفاصيل الدين فناج من الخلود في النار ، وإن شعر بشيء من المجمع عليه وبلغه بالتواتر لزمه باعتقاده إن قدر على تعقله. ومنها من حكم بإيمانه لا يكفر إلا إذا تكلم أو اعتقد أو فعل ما فيه تكذيب للنبي في شيء مجمع عليه ضرورة ، وقدر على تعقله ، أو نفي الاستسلام لله ورسوله ، كالاستخفاف به أو بالقرآن. ومنها أن الجاهل والمخطىء من هذه الأمة لا يكفر بعد دخوله في الإسلام بما صدر منه من المكفرات حتى تتبين له الحجة التي يكفر جاحدها وهي التي لا تبقى له شبهة يعذر بها. ومنها أن المسلم إذا صدر منه مكفر لا يعرف معناه أو يعرفه ، ودلت القرائن على عدم إرادته أوشك لا يكفر. ومنها لا ينكر إلا ما أجمع عليه أو اعتقده الفاعل وعلم منه أنه معتقد حرمته حال فعله ، فمن عرف هذا القواعد كف لسانه عن تكفير المسلمين ، وأحسن الظن بهم ، وحمل أقوالهم وأفعالهم المحتملة على الفعل الحسن. خصوصاً الفعل الذي ثبت أن أهل العلم والصلاح والولاية كالقطب الحداد فعلوه وقالوه ، وفي كتبهم وأشعارهم دوّنوه ، فليعتقد أنه صواب لا شك فيه ولا ارتياب ، وإن جهله بدليله لقصوره وجهله ، لا لغلبة الحال على الولي وغيبه عقله ، وليسع العوام ما وسع ذلك العالم ، فمن علم ما ذكرنا وفهم ما أشرنا وأراد الله حفظه عن سبيل الابتداع ، كف لسانه وقلمه عن كل من نطق بالشهادتين ، ولم يكفر أحداً من أهل القبلة ، ومن أراد الله غوايته أطلقها بذلك وطالع كتب من أهواه هواه نعوذ بالله من ذلك.
حاشية الرملي – (ج 1 / ص 219)
وما في المجموع من تكفير من يصرح بالتجسيم أشار إلى تضعيفه وكتب أيضا كأنه احترز بالتصريح عمن يثبت الجهة فإنه لا يكفر كما قاله الغزالي في كتاب التفرقة بين الإسلام والزندقة وقال ابن عبد السلام في القواعد إنه الأصح بناء على أن لازم المذهب ليس بمذهب ر وكتب أيضا
قال البلقيني الصحيح أو الصواب خلاف ما قال وقال ابن القشيري في المرشد من كان من أهل القبلة وانتحل شيئا من البدع كالمجسمة والقدرية وغيرهم هل يكفر للأصحاب فيه طريقان وكلام الأشعري يشعر بهما وأظهر مذهبيه ترك الكفر وهو اختيار القاضي فمن قال قولا أجمع المسلمون على تكفير قائله كفرناه وإلا فلا
Sumber: Ma’had Ali Situbondo


RAJAB MUDLOR

RAJAB MUDLOR




Dari Abu Bakroh, Nabi SAW bersabda :
الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Masa itu berputar sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. (Satu bulan lagi yang menyendiri adalah) RAJAB MUDLOR yang terletak antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban.” [HR. Bukhari – Muslim]
Apa yang dimaksud dengan RAJAB MUDLOR pada hadits di atas? Mudlor adalah nama Qabilah. Imam Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan bahwa dahulu Qabilah Rabi’ah dan Qabilah Mudlor berbeda dalam menentukan bulan rajab. Qabilah Rabi’ah menganggap Bulan Rajab adalah bulan Ramadhan seperti pengertian sekarang ini yakni bulan ke 9 dalam kalender hijriyah, Sementara Qabilah Mudlor menganggap Rajab adalah bulan rajab seperti yang kita pahami sekarang ini yaitu bulan ke bulan ke 7 dalam kalender hijriyah yang terletak antara antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban. Ada pendapat lain mengatakan bahwa Qabilah mudlor adalah qabilah yang lebih banyak mengagungkan Rajab dari pada qabilah lainnya. [Syarah Shaih Muslim]
Rajab adalah salah satu dari Asyhurul hurum (bulan mulia) menurut istilah Rasulullah SAW, Sebagaimana Rajab adalah Bulan pilihan Allah menurut istilah Qatadah. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, atau familier disebut imam Al-Thabari seorang ahli tafsir ternama (225 H - 310 H) menceritakan bahwa seorang pembesar dari kalangan Tabi’in, Qatadah bin Di’amah as-Sadusy al-Bashri (61 H-117 H) berkata : mengatakan;
إن الله اصطفى صَفَايا من خلقه
“Sesungguhnya Allah SWT telah menentukan pilihan diantara kalangan makhluk-Nya”, Yang terpilih dari Kalangan malaikat adalah mereka yang dijadikan-Nya sebagai utusan, dari kalangan manusia adalah para nabi-Nya, dari Kalam-Nya adalah Al-Qur'an, dari bumi ini adalah masjid, dari himpunan bulan-bulan adalah Ramadhan dan bulan-bulan Haram (Dzul Qa 'dah, Dzul Hijjah, Muharram dan RAJAB), dari himpunan hari-hari adalah hari Jum'at, dan dari waktu-waktu malam adalah malam Lailatul Qadar. Oleh sebab itu, agungkanlah apa yang diagungkan oleh Allah SWT , karena sesungguhnya pengagungan itu hanyalah kepada apa yang diagungkan oleh Allah SWT Demikianlah menurut orang yang memiliki pemahaman dan berakal." [Tafsir At-Thabari]
Mengingat keberadaaan bulan rajab sebagai bulan yang mulia, bulan pilihan dan bulan yang diagungkan Allah maka banyak dari kalangan para ulama memberikan ilustrasi untuk menjelaskan kedudukan dan keistimewaannya. Diantaranya adalah sebagai berikut :

Abu Bakr al Warraq al Balkhi rahimahullah mengatakan :
شهر رجب شهر للزرع و شعبان شهر السقي للزرع و رمضان شهر حصاد الزرع
“Rajab adalah bulan untuk menanam, Sya’ban adalah bulan untuk mengairi dan Ramadhan adalah bulan untuk memanen” [Lathaiful Ma’arif]
Ulama yang lain mengatakan,
السنة مثل الشجرة و شهر رجب أيام توريقها و شعبان أيام تفريعها و رمضان أيام قطفها و المؤمنون قطافها جدير بمن سود صحيفته بالذنوب أن يبيضها بالتوبة في هذا الشهر و بمن ضيع عمره في البطالة أن يغتنم فيه ما بقي من العمر
“Waktu setahun itu laksana sebuah pohon. Bulan Rajab adalah waktu menumbuhkan daun, Syaban adalah waktu untuk menumbuhkan dahan, dan Ramadhan adalah bulan memanen, pemanennya adalah kaum mukminin. (Oleh karena itu), mereka yang “menghitamkan” catatan amal mereka hendaklah bergegas “memutihkannya” dengan taubat di bulan-bulan ini, sedang mereka yang telah menyia-nyiakan umurnya dalam kelalaian, hendaklah memanfaatkan sisa umur sebaik-baiknya (dengan mengerjakan ketaatan) di waktu tersebut. [Lathaiful Ma’arif]
Imam Al-Baihaqi (384 H-458 H) dalam kita Syu’abul Iman meriwayatkan bahwa Imam Syafi’i (150 H- 204 H) mengatakan :
وبلغنا أنه كان يقال إن الدعاء يستجاب في خمس ليال في ليلة الجمعة ، وليلة الأضحى ، وليلة الفطر ، وأول ليلة من رجب ، وليلة النصف من شعبان
Telah sampai kepada kami; maqalah yang mengatakan bahwa sesungguhnya doa itu mustajabah pada lima tempat yaitu malam jum’at, Malam idul Adha, Malam Idul fitri, Awal Malam bulan rajab, Malam Nishfu Sya’ban. [Syu’abul Iman] Wallahu A’lam. Semoga Allah albari membuka hati dan pikiran kita untuj memuliakan apa yang dimuliakan Allah sehingga kita mendapatkan kemuliaan dari-Nya