Selasa, 03 Oktober 2017

Konsep Negara Menurut NU

Konsep Negara Menurut NU

Konsep Negara Menurut NU

NU menempatkan negara sebagai alat bagi pencapaian tujuan Islam. Maka, karena tujuan Islam adalah rahmatan lil ‘alamin (kesejahteraan bagi semesta), negara yang mengarah ke tujuan tersebut bisa diterima, meskipun tidak berbentuk Islam.
Pada tanggal 4-8 Juni, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) diundang oleh para ulama Afghanistan dan Noor Educational and Capacity Development Organization (NECDO) untuk menghadiri workshop “Peran Ulama dalam Pembangunan dan Rekonstruksi Afghanistan” di Afghanistan.
PBNU, yang diwakili empat delegasi, berbicara di hadapan para ulama dan ilmuwan dari 12 provinsi tentang pentingnya perdamaian serta rekonsiliasi.
Dalam kesempatan itu, NU diminta berbagi pengalaman tentang peran ulama di Indonesia dalam menciptakan keharmonisan umat beragama beserta manajemen konflik di dalamnya.
Yang menarik dalam pertemuan itu adalah potensi NU sebagai model Islam di dunia, sebab ia menjadi “cermin”, khususnya bagi Afghanistan, dalam rangka hubungan Islam dengan kemodernan. Hubungan yang berhasil dijaga NU secara harmonis ini telah meminimalisir konflik, baik konflik antar-umat beragama maupun antara Islam dan Barat. Dengan demikian, NU bisa menjadi model bagi hubungan Islam dan kemodernan yang melahirkan hubungan harmonis antar-umat beragama.
Model yang dibangun NU itu merujuk pada integrasi Islam ke dalam perjuangan nasional melalui demokratisasi dalam jangka panjang. Dalam kaitan ini, terdapat dua proses signifikan. Pertama, integrasi Islam ke dalam nasionalisme. Kedua, partisipasi Islam dalam demokratisasi.
Kita akan membahas poin pertama dulu, yakni integrasi Islam ke dalam nasionalisme.
Yang dimaksud poin ini adalah penyatuan visi Islam tentang kehidupan ke dalam tujuan utama pendirian negara-bangsa. Hal ini berangkat dari kaidah al-ghayah wa al-wasail (tujuan dan metode), yang NU menempatkan negara sebagai alat bagi pencapaian tujuan Islam. Maka, karena tujuan Islam adalah rahmatan lil ‘alamin (kesejahteraan bagi semesta), negara yang mengarah ke tujuan tersebut bisa diterima, meskipun tidak berbentuk Islam. Oleh karena itu, NKRI, yang memuat “keadilan sosial” sebagai tujuan konstitusional bernegara, diterima oleh NU, meskipun ia bukan negara Islam yang formal.
Pada ranah historis, proses integrasi ini terjadi melalui beberapa tahap. Pertama, pengakuan wilayah Nusantara sebagai wilayah Islam (dar al-Islam). Hal ini dilakukan pada Muktamar ke-11 (1936), yang para ulama NU menetapkan Nusantara sebagai dar al-Islam. Menariknya, istilah dar al-Islam ini tidak dimaknai sebagai “negara Islam”, melainkan “wilayah Islam”, sebab di dalamnya umat Islam bebas melaksanakan syari’at. Dengan cara ini, NU telah membentuk “kebangsaan Islam” (Islamic nationalism) sebab dar al-Islam tersebut dipahami sebagai bangsa. Artinya, ketika Nusantara diakui sebagai dar al-Islam, wilayah ini telah dipahami sebagai bangsa muslim Indonesia.
Kedua, penerimaan atas negara-bangsa (NKRI), bukan negara Islam pada pembentukan konstitusi 1945. Wakil NU di sidang PPKI, yakni Kiai Wahid Hasyim, Kiai Masykur, dan Zainul Arifin, telah menyepakati bangunan NKRI dalam kerangka perawatan kemajemukan bangsa. Pada titik ini, NU telah menepis ego-kelompok, demi terjaganya masyarakat bangsa yang majemuk.
Ketiga, penetapan pemerintah RI sebagai pemimpin darurat yang memiliki wewenang menerapkan syari’at (waliy al-amri al-dlaruri bi al-syaukah). Kesepakatan ulama pada Munas Alim Ulama (1954) ini ditetapkan agar syari’at Islam bisa ditegakkan, karena pemerintahan sah secara syar’i. Dari sini terlihat bahwa politik kebangsaan NU tidak bersifat sekuler, karena ia bermuara pada syari’at Islam, baik melalui penerapan partikel hukumnya di dalam hukum nasional, maupun pengamalan sebagai etika sosial.
Keempat, penerimaan Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini ditetapkan pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo (1983), Pancasila diterima sebagai dasar negara sedangkan Islam tetap dijaga sebagai aqidah. Antara aqidah beragama dan dasar bernegara tidak dibenturkan, sebab Pancasilam yang memuat sila ketuhanan, merupakan bentuk pengamalan syari’at Islam.
Melalui proses integrasi Islam ke dalam nasionalisme ini, NU telah melerai ketegangan antara Islam sebagai “ideologi universal” dan Pancasila sebagai “ideologi nasional”, serta antara Islam sebagai “paham theokratis” dan NKRI sebagai “bangunan negara-bangsa”. Sebuah pola hubungan yang hingga saat ini masih menyediakan ketegangan bagi sebagian besar negara Islam di Timur Tengah, karena mereka belum mencapai hubungan harmonis antara Islam dan kemodernan.
Dalam kaitan ini, penerimaan NU atas NKRI digerakkan melalui demokratisasi dalam jangka panjang. Hal ini terjadi karena NU memahami nasionalisme tidak dalam kerangka identitas dan wilayah, melainkan kerakyatan. Hal ini terkait dengan pandangan terhadap kekuasaan yang terkait langsung dengan kemaslahatan rakyat (tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah). Melalui pandangan ini, demokrasi yang diperjuangkan bukan demokrasi prosedural, melainkan demokratisasi, baik dalam rangka pemenuhan hak sipil-politik maupun hak sosial-ekonomi.
Dari paparan di atas terlihat bahwa NU telah membangun model Islam yang selaras dengan kemodernan, nasionalisme dan demokrasi. Menariknya, NU melakukan ini melalui khazanah tradisi Islam. Tradisi yang kemudian menjadi metodologi ini misalnya terdapat pada legal maxim (qawa’id al-fiqhiyah), legal theory (ushul fiqh), dan legal philosophy (hikmah al-tasyri’).
Legal maxim menyediakan kaidah praktis yang bertujuan menyelaraskan ketaatan normatif dengan keluwesan menghadapi realitas. Misalnya, kaidah Ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu (Apa yang tidak bisa dicapai semuanya jangan ditinggal prinsip dasarnya). Kaidah ini membuat NU tidak menolak NKRI, sebab terdapat prinsip-prinsip Islam di dalamnya, meliputi syura (musyawarah), ‘adalah (keadilan), dan musawah (persamaan).
Sementara itu legal theory menyediakan metode penerapan syari’at dengan mengakomodir perkembangan zaman. Adapun legal philosophy menjadi jembatan antara hukum Islam dan ilmu pengetahuan.
Dengan metode tradisional yang bernuansa modern ini, NU bisa menghadapkan Islam dengan tantangan zaman secara setara. Dampaknya, ia tidak terjebak di dalam asumsi Barat sebagai ancaman dengan posisi “Islam terancam” selayak pemahaman kalangan fundamentalistis. NU dengan tradisinya telah menempatkan Islam sebagai kebijaksanaan hidup yang menyempurnakan sistem kehidupan yang ada. Oleh karenanya, dalam kaitan dengan pembangunan, peran Islam tidak sebatas suplementer (tambahan), melainkan komplementer (penyempurna), dengan ikut menentukan arah ideal pembangunan.
Kesadaran dunia Islam seperti Afghanistan untuk bercermin dari NU membuktikan bahwa jam’iyyah ini memiliki potensi besar. Tidak hanya dalam kehidupan berbangsa, melainkan terlebih kehidupan global. Tak mengherankan jika pemikir muslim asal Mesir, Hassan Hanafi, melihat potensi “Islam Indonesia” sebagai pemimpin dunia Islam. Pandangan ini disampaikan oleh Hanafi kepada K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjabat presiden ke-4 RI. Tentu yang dimaksud Hassan Hanafi tersebut adalah NU.
Siraman Air yang Menyejukkan
Di tengah gencarnya usaha atau minimal suara agar Indonesia menjadi negara Islam, yang besar kemungkinan akan sedikit memanaskan situasi, apa yang dipaparkan NU, dalam hal ini As’ad Said Ali, wakil ketua umum PBNU, itu benar-benar bagai siraman air yang menyejukkan.
Di negara kita, kondisi umat beragamanya adalah majemuk. Ada yang menganut Islam, Hindu, Buddha, dan sebagainya. Lalu, kalau dasar negara kita adalah Islam, misalnya, apakah para penganut agama yang lain setuju. Saya kira tidak. Dalam sebuah diskusi pada acara Indonesia Lawyers Club di TvOne beberapa waktu lalu, seorang romo Katholik menyebutkan, yang intinya kurang lebih, nilai kebangsaan kita sebagaimana yang dipesankan Bung Karno telah luntur. Kita lebih mementingkan ego suku, agama, dan seterusnya, daripada ikatan kebangsaan.
Itulah sebabnya, pilihan politik bangsa ini ihwal dasar negara adalah Pancasila, bukan agama. Bukankah ini adalah pilihan yang adil bagi semua penganut agama?
Untuk NU, saya sungguh salut pada pandangan-pandangannya. Saya berkeyakinan, pandangan-pandangan NU akan semakin go international. Insya Allah, kelak bukan hanya para ulama Afghanistan yang akan meng-NU-kan umat Islam-nya. Ulama-ulama negara-negara lain, yang sadar bahwa pandangan-pandangan NU sangat bermanfaat bagi tercapainya perdamaian dunia, pun akan mengikuti ulama-ulama Afghanistan itu. Amin….
sumber: Santridayah.com
NU: Pengibar Panji Ahlussunnah Wal Jama’ah

NU: Pengibar Panji Ahlussunnah Wal Jama’ah

NU: Pengibar Panji Ahlussunnah Wal Jama’ah

 1.    
Ahlussunnah Wal Jama’ah (اَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ) artinya para pengikut ajaran Assunnah wal Jama’ah. Tetapi seringkali kata Ahlussunnah wal Jama’ah juga dipergunakan untuk menyebut ajaran Assunnah wal Jama’ah (السُّنَّة وَالْجَمَاعَة).
2.   Assunnah wal Jama’ah adalah ajaran Islam yang lurus dan murni, sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah r. dan diamalkan bersama para sahabatnya, belum tercampurkan dengan sesuatu yang bukan semestinya.
3.        Istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah pertama kali dipopulerkan oleh para shahabat Nabi r generasi yunior (Shigharu al-Shahabah), seperti Ibn Abbas t, Ibn Umar, dan Abu Sa’id al-Khudri:
قَالَ اِبْنُ عَبَّاسٍ t فيِ قَوْلِهِ تَعَالىَ: يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهٌ (سورة: آل عمران:106), فَأَمَّا الَّذِيْنَ ابْيَضَّتْ وُجُوْهُهُمْ فَأَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَأُولُو الْعِلْمِ, وَأَمَّا الَّذِيْنَ اسْوَدَّتْ وُجُوْهُهُمْ فَأَهْلُ الْبِدْعَةِ وَالضَّلَالَةِ.(شرح اصول الاعتقاد اهل السنة والجماعة, ج2 ص92)
Ibn Abbas t berkata ketika menafsirkan firman Allah: “Pada hari yang diwaktu itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram.” (QS. Ali Imran: 106). “Adapun orang-orang yang wajahnya putih berseri adalah pengikut ahlussunnah wal-jama’ah dan orang-orang yang berilmu. Sedangkan orang-orang yang wajahnya hitam muram, adalah pengikut bid’ah dan kesesatan.” (Syarh Ushul I’tiqd Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Juz 1, hal.79)
4.        Agar lebih mudah membedakan dengan golongan lain, maka beberapa ulama membuat definisi dari ASWAJA tersebut. Salah seorang dari mereka ialah Hadratusysyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, dalam kitabnya Ziyaadatut Ta’liqaat (hal. 23-24). Beliau mendefinisikan:
أَمَّا أَهْلُ السُّنَّةِ فَهُمْ أَهْلُ التَّفْسِيْرِ وَالْـحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ فَإِنَّهُم الْمُهْتَدُوْنَ الْمُتَمَسِّكُوْنَ بِسُنَّةِ النَّبِيِّ r وَالْـخُلَفَاءِ بَعْدَهُ الرَّاشِدِيْنَ وَهُم الطَّائِفَةُ النَّاجِيَّةُ قَالُوا وَقَدْ اجْتَمَعَت الْيَوْمَ فىِ مَذَاهِبَ أَرْبَعَةٍ الْـحَنَفِيُّوْنَ وَالشَّافِعِيُّوْنَ وَالْمَالِكِيُّوْنَ وَالْـحَنْبَلِيُّوْنَ.
“Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqh. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh kepada sunnah Nabi r dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab yang empat, yaitu pengikut Madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali.” (Ziyadaat Ta’liqat hal. 23-24).
5.   Dapat dirumuskan dengan sederhana, bahwa kaum Ahlussunnah wal Jama’ah ialah para pengikut setia ajaran Islam yang masih lurus dan murni.
6.   Kesetiaan itu diwujudkan kaum Ahlussunnah wal Jama’ah dengan antara lain:
  a. Keinginan yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan ajaran yang benar-benar bersih sesuai dengan apa yang disampaikan dan dimaksudkan oleh Rasulullah r (dari Allah I).
    b. Berhati-hati dalam menerima suatu pendapat atau penafsiran, dengan meneliti kebenaran dan kesinambungan jalur dan salurannya sampai kepada Rasulullah r, tidak hanya dengan membaca sepotong naskah dari satu dalil saja.
    c. Berusaha mempelajari Islam seutuh mungkin dengan mempelajari secara ijmali (keseluruhan) dan tafsili (rincian) dan dengan memahami garis-garis kecilnya (mikro).
     d. Berusaha keras mengamalkan Islam sebaik mungkin, dengan selalu menyadari kelemahan diri, sehingga tidak merasa dirinya paling benar dan paling taqwa.
7.        Ahlussuannah wal Jama’ah mengikuti watak dasar (karakteristik) sebagaimana watak dasar Islam antara lain :
a.   At-Tawassuth ( التَّوَسُطُ ) = Sikap tengah atau sedang-sedang.
b.   At-Tawazun   ( التَّوَازُنُ )= keseimbangan.
c.   Al-I’tidal ( الإِعْتِدَالُ )      = tegak lurus.
8.        Sungguh baik ada organisasi yang menegaskan dirinya, sebagai penganut, pengawal dan penegak Ahlussunnah wal Jama’ah, seperti Nahdlatul Ulama’, dan niven-niven didalamnya seperti Muslimat NU, Fatayat NU, dan lain sebagainya. sebagaimana ditegaskan dalam tujuan dan usaha Nahdlatul Ulama’ dalam anggaran dasarnya bab IV pasal 8 ayat 2: “Tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran islam yang menganut faham Ahlussunnah wal Jamaah untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta”. Namun demikian, ke-Ahlussunnah-an seseorang tetap bergantung pada pendiriannya, sikap mental dan tingkah lakunya, tidak hanya pada keanggotaannya pada suatu organisasi.
9.        Organisasi seperti Nahdlatul Ulama’ memikul tanggung jawab yang sangat berat untuk membina seluruh anggotanya menjadi pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah yang baik, sehingga mampu membuktikan keunggulan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah.
10.    Bagi Nahdlatul Ulama’, ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah itu meliputi bidang aqidah (tauhid), bidang syari’ah (fiqh) dan bidang akhlaq (tasawwuf), termasuk di dalamnya tata cara kehidupan berumah tangga, bertetangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu digali dan dirumuskan dari sumber primer ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan al-sunnah.
11.    Di bidang Aqidah, Ahlussunnah wal Jama’ah mengikuti rumusan Imam al-Asy’ari dan Imam Al-Maturidi, sebagaimana dapat kita pelajari dari kitab-kitab semisal ‘Aqidatul ‘Awam, Jawharatut Tauhid atau karya Imam al-Asy’ari  sendiri, seperti  Al-luma’ fi al-Raddi ‘ala Ahl al-Zaygi wa al Bida’ atau al- Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah, dan karya al-Maturidi, seperti Kitab al-Tauhid, Ta’wilat Ahlisunnah dan lain-lain. Nama lengkap Imam al-Asy’ari ialah Syeikh Abu al-Hasan ‘Ali al-Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H/874M dan wafat di Basrah juga tahun 324 H/936 M. dalam usia 64 tahun). Sedangkan nama lengkap Imam al-Maturidi ialah Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi, wafat di sebuah desa bernama Maturid Samarqand, di Asia tengah pada tahun 333 H/944 M.
12.    Di bidang Syari’ah, Ahlussunnah wal Jama’ah mengikuti salah satu Madzhab yang empat, dan hampir seluruh kaum muslimin di Indonesia mengikuti Madzhab Syafi’i, sebagaimana dapat kita pelajari dari kitab-kitab salaf seperti Fathul Qorib, Fathul Mu’in dan lain-lain. Yang dimaksud dengan empat Madzhab tersebut ialah:
a. Madzhab Hanafi. Pendiri/Perumusnya ialah Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit al-Kufi (80-150 H).
b. Madzhab Maliki. Pendiri/perumusnya ialah Malik bin Anas bin Malik al-Ashbahi (93-179 H).
c.  Madzhab Syafi’i. Pendiri/perumusnya ialah Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204).
d. Madzhab Hanbali. Pendiri/perumusnya ialah Ahmad bin Hanbal al-Syaibani (164 -241 H).
13.    Di bidang Akhlaq, (Tasawwuf) Ahlussunnah wal Jama’ah mengikuti rumusan Imam al-Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali. Nama lengkap Imam al-Junaid  adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Baghdadi (wafat tahun 298 H/910 M). Sedangkan nama lengkap Imam al-Ghazali ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (wafat tahun 505 H/1111 M). Materi pelajaran akhlaq dan tasawwuf rumusan kedua imam tersebut bisa dikaji dalam berbagai kitab akhlak dan tasawwuf, semisal Bidayatul Hidayah, Kifayah al-Adzkiya’, dan Ihya’ Ulum al-Diin, dan lain sebagainya.
14.    Materi ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah ialah apa yang diajarkan di Pesantren-Pesantren dan Madrasah-Madrasah Salaf, yang beberapa waktu lalu sering diremehkan, dinilai sebagai lambang keterbelakangan. Tetapi, akhir-akhir ini tampak muncul kecenderungan baru. Banyak kaum intelektual baik dari Barat maupun Timur yang tekun menggali mutiara-mutiara yang terpendam di dalam kitab-kitab kuning, mereka tidak hanya mengumpulkan batu-batu yang berserakan dipinggir jalan. Di antaranya ialah Prof. Dr. Andree Feillard dari Perancis dan Prof. Dr. Martin Van Bruinessen dari Belanda, Prof. Dr. Robert W. Hefner dari Boston University Amerika, Prof. Dr. Mitsuo Nakamura dari Jepang dan lain sebagainya.
15.    Kecenderungan baru ini merupakan tantangan bagi para tokoh Nahdlatul Ulama’ bersama generasi mudanya baik yang berada pada struktur organisasi maupun diluar struktur organisasi sebagai juru dakwah kultural, untuk mengimbanginya dengan beberapa usaha yang dilakukan, antara lain:
a. Memperluas dan memperdalam pengetahuan tentang Ahlussunnah wal Jama’ah serta meningkatkan penghayatan dan pengamalannya.
b. Meningkatkan keluhuran citra ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah, dengan mening-katkan mutu pelaksanaannya.
c.     Membuktikan keunggulan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah dengan memperbanyak membaca dan mengkaji kitab kuning (Kutub al-Turats). Bermusyawarah serta berdiskusi untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul kepermukaan, kemudian menjadikan ajaran ASWAJA sebagai alternatif solusinya.
Dalil Menghajikan Orang Yang Telah Meninggal

Dalil Menghajikan Orang Yang Telah Meninggal

Dalil Menghajikan Orang Yang Telah Meninggal

Dalil pertama, hadits Nabi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ: إِنَّ أُخْتِي قَدْ نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ، وَإِنَّهَا مَاتَتْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَاقْضِ اللَّهَ، فَهُوَ أَحَقُّ بِالقَضَاءِ
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata kepada beliau: “Sesungguhnya saudara perempuanku nadzar untuk berhaji, tetapi ia meninggal dunia”. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Andaikata ia mempunyai hutang, bukankah engkau akan membayarnya?”. Ia menjawab: “Ya”. Beliau kemudian bersabda: ”Maka bayarlah hutang haji itu kepada Allah, sebab Allah lebih berhak untuk dibayar”. (Shahih Bukhari juz 8 hal. 142 no. 6699).

Dalil kedua, hadits Nabi:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : بَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَتَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ : إِنِّي تَصَدَّقْتُ عَلَى أُمِّي بِجَارِيَةٍ وَإِنَّهَا مَاتَتْ فَقَالَ : وَجَبَ أَجْرُكِ ، وَرَدَّهَا عَلَيْكِ الْمِيرَاثُ ، قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّهُ كَانَ عَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَصُومُ عَنْهَا ؟ قَالَ : صُومِي عَنْهَا ، قَالَتْ : إِنَّهَا لَمْ تَحُجَّ قَطُّ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ : حُجِّي عَنْهَا 
Dari Abdullah bin Buraidah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Ketika kami duduk di sisi Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam, tiba-tiba ada seorang wanita datang dan bertanya: "Sesungguhnya saya bersedekah budak untuk ibuku yang telah meninggal". Beliau bersabda: "Engkau mendapatkan pahalanya dan dikembalikan kepada engkau warisannya". Dia bertanya: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya beliau mempunyai (tanggungan) puasa sebulan, apakah saya puasakan untuknya?" Beliau menjawab: "Puasakan untuknya". Dia bertanya lagi: "Sesungguhnya beliau belum pernah haji sama sekali, apakah (boleh) saya hajikan untuknya?" Beliau menjawab: "Hajikan untuknya". (Shahih Muslim juz 2 hal. 805 no. 1149).
Dalil ketiga, penjelasan Imam Ibnu Hajar rahimahullah: Ulama yang memperbolehkan menggantikan haji orang lain bersepakat, bahwa tidak diterima haji wajib kecuali untuk orang meninggal dunia atau lumpuh. Maka orang sakit tidak termasuk yang dibolehkan, karena ada harapan kesembuhannya. Tidak juga orang gila, karena ada harapan normal. Tidak juga orang yang dipenjara, karena ada harapan bebas. Tidak juga orang fakir karena mungkin dia akan menjadi kaya.
Dalil keempat, penjelasan Imam Nawawi rahimahullah: Mayoritas ulama mengatakan bahwa menghajikan orang lain itu dibolehkan untuk orang yang telah meninggal dunia dan orang lemah (sakit) yang tidak ada harapan sembuh.
Qadhi Iyadh berpendapat berbeda dengan madzhabnya (Malikiyah) dengan tidak menganggap hadits (yang membolehkan) menggantikan puasa bagi orang meninggal dan menghajikannya. Dia berkesimpulan bahwa haditsnya mudhtharib (tidak tetap). Alasan ini batil, karena haditsnya tidak mudhtharib. Cukuplah bukti kesahihan hadits ini manakala  Imam Muslim menjadikannya sebagai hujah dalam kitab shahihnya. Dan masih banyak lagi dalil lainnya yang tidak dapat kami tampilkan seluruhnya di sini.
Sedangkan pandangan kebanyakan para ulama pemuka madzhab (Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah) menyatakan bahwa boleh menghajikan orang yang telah meninggal, sedangkan menurut qaul mu’tamad madzhab Malikiyah menyatakan bahwa tidak boleh ada perwakilan dalam haji, baik untuk yang masih hidup ataupun telah meninggal, dengan udzur ataupun tanpa udzur. Wallahu a’lam.

Referensi:
Fathul Bari li Ibni Hajar juz 4 hal. 70
واتفق من أجاز النيابة في الحج على أنها لا تجزى في الفرض إلا عن موت أو عضَب – أي : شلل - ، فلا يدخل المريض ؛ لأنه يرجى برؤه ، ولا المجنون ؛ لأنه ترجى إفاقته ، ولا المحبوس ؛ لأنه يرجى خلاصه ، ولا الفقير ؛ لأنه يمكن استغناؤه
Syarh an Nawawiy 'ala Muslim juz 8 hal. 27
والجمهور على أن النيابة في الحج جائزة عن الميت والعاجز الميئوس من برئه ، واعتذر القاضي عياض عن مخالفة مذهبهم – أي : المالكية - لهذه الأحاديث في الصوم عن الميت والحج عنه بأنه مضطرب ، وهذا عذر باطل ، وليس في الحديث اضطراب ، ويكفى في صحته احتجاج مسلم به في صحيحه
Al Mausu’ah al Fiqhiyyah juz 17 hal. 72
ذهب الجمهور ( الحنفية والشافعية والحنابلة ) إلى مشروعية الحج عن الغير  وقابليته للنيابة ، وذهب مالك على المعتمد في مذهبه إلى أن الحج لا يقبل النيابة لا عن الحي ولا عن الميت ، معذورا أو غير معذور