Konsep Negara Menurut NU
NU
menempatkan negara sebagai alat bagi pencapaian tujuan Islam. Maka, karena
tujuan Islam adalah rahmatan lil ‘alamin (kesejahteraan bagi semesta), negara
yang mengarah ke tujuan tersebut bisa diterima, meskipun tidak berbentuk Islam.
Pada tanggal 4-8 Juni, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
diundang oleh para ulama Afghanistan dan Noor Educational and Capacity
Development Organization (NECDO) untuk menghadiri workshop “Peran Ulama
dalam Pembangunan dan Rekonstruksi Afghanistan” di Afghanistan.
PBNU, yang diwakili empat delegasi, berbicara di hadapan para
ulama dan ilmuwan dari 12 provinsi tentang pentingnya perdamaian serta
rekonsiliasi.
Dalam kesempatan itu, NU diminta berbagi pengalaman tentang peran
ulama di Indonesia dalam menciptakan keharmonisan umat beragama beserta
manajemen konflik di dalamnya.
Yang menarik dalam pertemuan itu adalah potensi NU sebagai model
Islam di dunia, sebab ia menjadi “cermin”, khususnya bagi Afghanistan, dalam
rangka hubungan Islam dengan kemodernan. Hubungan yang berhasil dijaga NU
secara harmonis ini telah meminimalisir konflik, baik konflik antar-umat
beragama maupun antara Islam dan Barat. Dengan demikian, NU bisa menjadi model
bagi hubungan Islam dan kemodernan yang melahirkan hubungan harmonis antar-umat
beragama.
Model yang dibangun NU itu merujuk pada integrasi Islam ke dalam
perjuangan nasional melalui demokratisasi dalam jangka panjang. Dalam kaitan
ini, terdapat dua proses signifikan. Pertama, integrasi Islam ke dalam
nasionalisme. Kedua, partisipasi Islam dalam demokratisasi.
Kita akan
membahas poin pertama dulu, yakni integrasi Islam ke dalam nasionalisme.
Yang dimaksud poin ini adalah penyatuan visi Islam tentang
kehidupan ke dalam tujuan utama pendirian negara-bangsa. Hal ini berangkat dari
kaidah al-ghayah wa al-wasail (tujuan dan metode), yang NU menempatkan negara
sebagai alat bagi pencapaian tujuan Islam. Maka, karena tujuan Islam adalah
rahmatan lil ‘alamin (kesejahteraan bagi semesta), negara yang mengarah ke
tujuan tersebut bisa diterima, meskipun tidak berbentuk Islam. Oleh karena itu,
NKRI, yang memuat “keadilan sosial” sebagai tujuan konstitusional bernegara,
diterima oleh NU, meskipun ia bukan negara Islam yang formal.
Pada ranah historis, proses integrasi ini terjadi melalui beberapa
tahap. Pertama, pengakuan wilayah Nusantara sebagai wilayah Islam (dar
al-Islam). Hal ini dilakukan pada Muktamar ke-11 (1936), yang para ulama NU
menetapkan Nusantara sebagai dar al-Islam. Menariknya, istilah dar al-Islam ini
tidak dimaknai sebagai “negara Islam”, melainkan “wilayah Islam”, sebab di
dalamnya umat Islam bebas melaksanakan syari’at. Dengan cara ini, NU telah
membentuk “kebangsaan Islam” (Islamic nationalism) sebab dar al-Islam tersebut
dipahami sebagai bangsa. Artinya, ketika Nusantara diakui sebagai dar al-Islam,
wilayah ini telah dipahami sebagai bangsa muslim Indonesia.
Kedua, penerimaan atas negara-bangsa (NKRI), bukan negara Islam
pada pembentukan konstitusi 1945. Wakil NU di sidang PPKI, yakni Kiai Wahid
Hasyim, Kiai Masykur, dan Zainul Arifin, telah menyepakati bangunan NKRI dalam
kerangka perawatan kemajemukan bangsa. Pada titik ini, NU telah menepis
ego-kelompok, demi terjaganya masyarakat bangsa yang majemuk.
Ketiga, penetapan pemerintah RI sebagai pemimpin darurat yang
memiliki wewenang menerapkan syari’at (waliy al-amri al-dlaruri bi
al-syaukah). Kesepakatan ulama pada Munas Alim Ulama (1954) ini ditetapkan
agar syari’at Islam bisa ditegakkan, karena pemerintahan sah secara syar’i.
Dari sini terlihat bahwa politik kebangsaan NU tidak bersifat sekuler, karena
ia bermuara pada syari’at Islam, baik melalui penerapan partikel hukumnya di
dalam hukum nasional, maupun pengamalan sebagai etika sosial.
Keempat, penerimaan Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini
ditetapkan pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo (1983), Pancasila diterima
sebagai dasar negara sedangkan Islam tetap dijaga sebagai aqidah. Antara aqidah
beragama dan dasar bernegara tidak dibenturkan, sebab Pancasilam yang memuat
sila ketuhanan, merupakan bentuk pengamalan syari’at Islam.
Melalui proses integrasi Islam ke dalam nasionalisme ini, NU telah
melerai ketegangan antara Islam sebagai “ideologi universal” dan Pancasila
sebagai “ideologi nasional”, serta antara Islam sebagai “paham theokratis” dan
NKRI sebagai “bangunan negara-bangsa”. Sebuah pola hubungan yang hingga saat
ini masih menyediakan ketegangan bagi sebagian besar negara Islam di Timur
Tengah, karena mereka belum mencapai hubungan harmonis antara Islam dan
kemodernan.
Dalam kaitan ini, penerimaan NU atas NKRI digerakkan melalui
demokratisasi dalam jangka panjang. Hal ini terjadi karena NU memahami
nasionalisme tidak dalam kerangka identitas dan wilayah, melainkan kerakyatan.
Hal ini terkait dengan pandangan terhadap kekuasaan yang terkait langsung
dengan kemaslahatan rakyat (tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi
al-mashlahah). Melalui pandangan ini, demokrasi yang diperjuangkan bukan
demokrasi prosedural, melainkan demokratisasi, baik dalam rangka pemenuhan hak
sipil-politik maupun hak sosial-ekonomi.
Dari paparan di atas terlihat bahwa NU telah membangun model Islam
yang selaras dengan kemodernan, nasionalisme dan demokrasi. Menariknya, NU
melakukan ini melalui khazanah tradisi Islam. Tradisi yang kemudian menjadi
metodologi ini misalnya terdapat pada legal maxim (qawa’id al-fiqhiyah),
legal theory (ushul fiqh), dan legal philosophy (hikmah
al-tasyri’).
Legal maxim menyediakan kaidah praktis yang bertujuan
menyelaraskan ketaatan normatif dengan keluwesan menghadapi realitas. Misalnya,
kaidah Ma laa yudraku kulluhu laa yutraku julluhu (Apa yang tidak bisa
dicapai semuanya jangan ditinggal prinsip dasarnya). Kaidah ini membuat NU
tidak menolak NKRI, sebab terdapat prinsip-prinsip Islam di dalamnya, meliputi syura
(musyawarah), ‘adalah (keadilan), dan musawah (persamaan).
Sementara itu legal theory menyediakan metode penerapan
syari’at dengan mengakomodir perkembangan zaman. Adapun legal philosophy
menjadi jembatan antara hukum Islam dan ilmu pengetahuan.
Dengan metode tradisional yang bernuansa modern ini, NU bisa
menghadapkan Islam dengan tantangan zaman secara setara. Dampaknya, ia tidak
terjebak di dalam asumsi Barat sebagai ancaman dengan posisi “Islam terancam”
selayak pemahaman kalangan fundamentalistis. NU dengan tradisinya telah
menempatkan Islam sebagai kebijaksanaan hidup yang menyempurnakan sistem
kehidupan yang ada. Oleh karenanya, dalam kaitan dengan pembangunan, peran
Islam tidak sebatas suplementer (tambahan), melainkan komplementer
(penyempurna), dengan ikut menentukan arah ideal pembangunan.
Kesadaran dunia Islam seperti Afghanistan untuk bercermin dari NU
membuktikan bahwa jam’iyyah ini memiliki potensi besar. Tidak hanya dalam
kehidupan berbangsa, melainkan terlebih kehidupan global. Tak mengherankan jika
pemikir muslim asal Mesir, Hassan Hanafi, melihat potensi “Islam Indonesia”
sebagai pemimpin dunia Islam. Pandangan ini disampaikan oleh Hanafi kepada K.H.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ketika menjabat presiden ke-4 RI. Tentu yang
dimaksud Hassan Hanafi tersebut adalah NU.
Siraman Air yang Menyejukkan
Di tengah gencarnya usaha atau minimal suara agar Indonesia
menjadi negara Islam, yang besar kemungkinan akan sedikit memanaskan situasi,
apa yang dipaparkan NU, dalam hal ini As’ad Said Ali, wakil ketua umum PBNU,
itu benar-benar bagai siraman air yang menyejukkan.
Di negara kita, kondisi umat beragamanya adalah majemuk. Ada yang
menganut Islam, Hindu, Buddha, dan sebagainya. Lalu, kalau dasar negara kita
adalah Islam, misalnya, apakah para penganut agama yang lain setuju. Saya kira
tidak. Dalam sebuah diskusi pada acara Indonesia Lawyers Club di TvOne beberapa
waktu lalu, seorang romo Katholik menyebutkan, yang intinya kurang lebih, nilai
kebangsaan kita sebagaimana yang dipesankan Bung Karno telah luntur. Kita lebih
mementingkan ego suku, agama, dan seterusnya, daripada ikatan kebangsaan.
Itulah sebabnya, pilihan politik bangsa ini ihwal dasar negara
adalah Pancasila, bukan agama. Bukankah ini adalah pilihan yang adil bagi semua
penganut agama?
Untuk NU, saya sungguh salut pada pandangan-pandangannya. Saya
berkeyakinan, pandangan-pandangan NU akan semakin go international. Insya Allah,
kelak bukan hanya para ulama Afghanistan yang akan meng-NU-kan umat Islam-nya.
Ulama-ulama negara-negara lain, yang sadar bahwa pandangan-pandangan NU sangat
bermanfaat bagi tercapainya perdamaian dunia, pun akan mengikuti ulama-ulama
Afghanistan itu. Amin….
sumber: Santridayah.com